Menasihati Anak Melalui Pengalaman Mereka



pixabay


Para orangtua sering memberi nasihat berdasar pengalaman hidupnya. Padahal, masa hidup para orangtua tadi dengan masa hidup anak sangat berbeda. Belum lagi kondisi mental dan latar belakang masalah, juga sangat berbeda. Alih-alih menjadi nasihat yang baik, anak-anak akan merasa orangtuanya kolokan. Kuno. Tidak up to date dalam menghadapi hidup.

Ini tentang pengalaman berharga bagi saya. Tentang dua anak saya, yang berusia enam dan empat tahun. Tahun 2017 ini, ketika libur semester genap, sekaligus libur lebaran, kami berlibur ke Sumenep. Tempat lahir suami.
Sebelah timur rumah ibu mertua (selanjutnya saya akan menulis dengan ‘Embah’ sebagai panggilan dari anak-anak saya) ada sawah. Tanah lapang itu masih belum ditanami tembakau. Biasanya, orang-orang menanam tembakau di sawah mereka. Beberapa petak tampak sudah tumbuh tembakaunya.
Dua anak saya menyukai layang-layang. Mungkin sebagian besar anak-anak lain juga demikian. Ketika ada di Yogyakarta, tempat tinggal kami, mereka biasa main itu, tapi tidak bisa terbang tinggi. Nah, di tempat Embah, bisa terbang yang tingginya hingga jauh melampaui pohon kelapa. Hal ini membuat anak-anak saya makin bersemangat untuk bermain layang-layang di sana.
Ada saudara suami, kalau tidak salah itu keponakannya, namanya Irul. Mas Irul, demikian anak-anak saya biasa memanggil. Mas Irul sudah kelas IV SD, dan dia mahir bermain layang-layang. Dua anak saya sudah nempel terus sama Mas Irul. Mereka merayunya agar mau bermain layang-layang.
Ketika ke pasar Lenteng, Sumenep, Madura, dua anak saya membeli layang-layang motif garis-garis. Warna dasarnya putih. Masing-masing membeli satu layang-layang. Mereka juga membeli tali berwarna kuning dan oranye.
Sore yang sudah disepakati pun tiba. Belum terlampau sore sebenarnya. Sekitar dua jam selepas azan dhuhur. Angin mulai bertiup sepoi. Di sana, makin sore, angin makin kencang bertiup.
Maisan, anak pertama saya, sudah siap dengan layang-layang di tangan. Adiknya, Byan, melakukan hal yang sama. Mereka bersiap ke rumah Mas Irul. Wajah tampak berseri-seri. Mungkin membayangkan indahnya layang-layang saat terbang tinggi. Atau hal lain, yang hanya mereka saja yang tahu.
“Sebentar lagi, Kakak. Masih siang ini,” tegur suami dengan nada bercanda.
Beliau paham, semangat yang merona di wajah anak-anaknya tidak layak jika dihentikan. Melihat mereka bersemangat, membekaskan semangat tersendiri bagi kami.
“Ini udah sore kok,” jawab Maisan.
Kakak beradik itu melangkah ke halaman rumah, menuju arah selatan. Mereka melewati sawah, lokasi yang nantinya akan dijadikan tempat bermain layang-layang. Jika lewat sawah menuju rumah Mas Irul, mereka tak perlu melewati jalan kecil yang kerap banyak sepeda motor berseliweran. Anak-anak kadang kurang awas dengan bahaya. Maka menempuh jalan alternativ (sawah), jauh lebih aman.
Jendela rumah Embah banyak terbuat dari kaca. Jika saya duduk di ruang tamu, saya bisa melihat anak-anak yang ada di sebelah timur rumah itu. Dan saat itu, saya sudah melihat tiga anak dengan tiga ukuran badan berbeda, sedang berjalan menuju satu titik. Maisan sudah tidak memegang layang-layang. Mainannya itu ada di tangan Mas Irul. Agaknya, Maisan cukup tahu diri, sehingga meminta Mas Irul untuk membantu menerbangkannya.
Maisan baru berusia enam tahun, dan belum memiliki pengalaman menerbangkan layang-layang. Yang dia lakukan saat di Yogyakarta adalah mengupayakan layang-layangnya terbang, menarik dan mencoba melambungkannya, namun layang-layangnya kembali jatuh. Tersungkur. Menyium tanah. Hal itu dilakukannya berulang-ulang dengan riang gembira.
“Satu ... dua ... ti-gaaa!” teriak Mas Irul memberi aba-aba.
Tadi, Maisan kebagian membawa badan layang-layang ke arah barat, dan Mas Irul menarik pangkal talinya dari arah sebaliknya. Layang-layang meliuk-liuk searah angin menerbangkannya. Daun-daun singkong ikut bergoyang seolah ikut menyemangati anak-anak itu.
Makin lama, layang-layang makin tinggi. Mas Irul terus memanjangkan tali. Membiarkan layang-layang mengangkasa. Maisan menatapnya dengan bahagia. Dia meminta memegang pangkal tali yang diikatkan pada sandal bekas.
Adiknya ikut meminta layang-layangnya diterbangkan. Mas Irul dengan sigap melakukannya. Dua layang-layang sudah mengudara. Dua bocah melihat dengan gembira. Angin terus memanjakan mereka bermain. Layang-layang menari, anak-anak riang hati.
Waktu semakin sore. Saya melangkah ke luar, menuju tepi sawah.
“Kakaaak! Sudah sore! Mandi duluuu!” teriak saya.
“Entaaar!” sahutnya tanpa menoleh.
Permintaan saya agar mereka pulang kurang dipedulikan. Mereka malah lari ke arah rumah Mas Irul. Menyusuri pematang hingga lenyap di balik rumah-rumah penduduk. Saya kembali ke rumah Embah.
Ketika Azan maghrib berkumandang, mereka belum pulang. Ingin rasanya menghamburkan kata-kata untuk mengingatkan anak-anak. Bagaimana pun, bermain tetap ada aturannya. Tapi, saya masih hanya mengucapkan beberapa kalimat saja. Seperti, “Kalau main, sudah sore, pulang, ya?”
Suami juga ikut nimbrung, “Iya. Kan belum mandi. Belum istirahat juga.”
Agaknya nasihat yang kami ucapkan bukan hal yang langsung dipatuhi. Namanya anak-anak, mereka butuh bukti atau teguran langsung berupa peristiwa agar melakukan aturan yang kami buat.
Hal yang sama dilakukannya pada sesi hari kedua bermain layang-layang. Malamnya, anak kami kelelahan. Badannya mungkin terasa kurang nyaman. Selama dua hari, mereka tidak tidur siang, dan mandi sangat sore. Itu bukan kebiasaan, sehingga mungkin badannya kaget.
Suami memijit mereka bergantian. Saat itu lah, kami bergantian kembali mengingatkan.
“Nak, besok kalau azan ashar, pulang dulu. Mandi. Ya?” pinta suami.
“Iya,” jawab Byan—si adik.
“Pas siang, bobok dulu biar enggak capek,” lanjut saya.
“Iya,” jawab Maisan—si kakak.
“Nah. Ini badannya kecapekan. Butuh istirahat. Kalau sering-sering kecapekan dan sering tidak istirahat, badan bisa sakit. Kalau sudah sakit, tidak bisa main layang-layang lagi.”
Semua diam.
Mereka mulai menguap dan menutup mulut dengan tapak tangan. Mata mereka pun sudah memerah. Warna yang menandakan lelah berlipat-lipat. Beberapa saat kemudian, mereka sudah memejam. Istirahat.
Keesokan harinya, anak-anak benar-benar pulang, istirahat, dan mandi. Meskipun kami tetap masih butuh mengingatkan. Setidaknya, kami tidak mengeluarkan banyak energi sebagaimana dua hari sebelumnya.

***

Memarahi anak-anak saat belum patuh, lagi-lagi bukan solusi yang tepat untuk membuat mereka sadar. Selain membuang energi, hal itu hanya akan membuat anak-anak bosan, jenuh, serta ingin melawan.
Kadang, kita butuh waktu yang tepat. Atau malah sering, untuk menegur anak-anak. Teguran secara langsung, dan bukan pada waktu yang tepat, tidak akan membuahkan hasil yang maksimal.
Teguran secara lisan yang belum berhasil, bisa tunjukkan dengan pengalaman. Pengalaman anak-anak sendiri, bukan pengalaman kita. Kita arahkan mereka pada satu kejadian, yang bisa diambil hikmahnya. Dijelaskan dengan penuh sayang, apa dan bagaimana jika mereka melakukan hal A, bagaimana akibatnya.
Anak-anak bukan mesin otomatis. Yang jika kita katakan A, mereka langsung patuh A, dan hanya butuh sekali waktu saja, mereka butuh berulang-ulang untuk diingatkan. Bahkan tidak melihat berapa usia mereka. []#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia

Comments

  1. Berulang-ulang diingatkan ..dan ambil hikmah dari pengalaman mereka sendiri..Setuju sekali ini, Mbak. Terima kasih saya sudah diingatkan :)

    ReplyDelete
  2. Oh begitu, jadi anak-anak perlu diberi bukti dan penjelasan sebab-akibat ya? :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena kalau omdo mereka jarang yang nurut. Anak-anak seusia itu ulung meniru.

      Delete
  3. tantangannya di pengulangan ituuuu *kekeke*

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siap mengulang, Ibu kan kaset rekamannya berfungsi sepanjang hayat.

      Delete
  4. Memberikan pengertian dan pbelajaran pd anak harus punya stok sabar yg besaar ya mbaa.. klo nggak rasanya pngen marah2 mulu😂😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Kadang kita butuh satu waktu untuk merenung, bukan mencari solusi, tapi sebatas merenung saja. Agar lebih bisa jernih dalam bertindak sebagai Ibu. Sulit, tapi semoga bisa.

      Delete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara