Mendukung Anak Berbuat Baik

dari pixabay

Anak-anak selalu memiliki alasan melakukan sesuatu. Seperti saat menjalankan niat baik mereka, yang kadang di mata orang dewasa itu mengundang bahaya. Tepatnya, anak-anak memang kurang mempertimbangkan akan adanya bahaya dari apa yang mereka lakukan. Seorang anak bisa saja memanjat pohon tinggi demi menurunkan kucing tetangganya yang bingung di atas pohon. Padahal, jauh di bawahnya melintang sungai, atau malah jalan raya. Kita, kerap berpikir negatif sehingga yang terbayang adalah bila si anak tadi jatuh, kecebur sungai, atau malah ke jalan raya, pas ada kendaraan berkecapatan tinggi melintas.

Apa yang kita pikirkan, mungikin berdasar logika atau pengalaman. Tapi, tahukan Mamah bahwa itu bisa memutuskan potensinya dalam melakukan kebaikan? Menghentikannya untuk selamanya bila akan menolong kawan. Dia bisa terdoktrin bahwa ‘Buat apa menolong, jika aku terancam bahaya.’

Ada cerita menarik yang saya alami bersama kedua anak saya. Anak pertama saya sudah bersekolah di TK. Biasaanya, dia pulang sekolah pukul 10.00. Setelah berganti pakaian, dia bebas bermain apa saja dengan adiknya. Saya mendampingi sambil melipat pakaian, atau menyapu lantai.

Kami tinggal di lingkungan panti asuhan. Banyak donatur memberikan apa saja untuk mendukung aktivitas anak-anak panti asuhan. Mereka tidak hanya memberikan uang, namun ada juga yang memberikan bebek, menthok, dan ayam. Binatang-binatang itu dibuatkan kandang, jauh di halaman belakang. Di sana, ada pohon jambu, belimbing wuluh, dan ada bangunan yang berfungsi untuk menjemur pakaian.

Apa hubungannya dengan dua anak saya?

Sebentar, izinkan saya merangkai aksara dulu agar bisa lega menceritakannya. Jika ada sisa nasi, sayur, atau makanan lain, biasanya kami berikan pada unggas milik panti asuhan. Sama, siang itu, saya meminta tolong anak sulung saya untuk memberikan sisa sayur kangkung, sawi, dan nasi ke belakang (istilah untuk menyebut tempat di halaman belakang).

“Ini semua dikasihkan sama bebek, Mi?” tanyanya kurang yakin.
Mungkin karena melihat jumlahnya yang masih semangkuk.

“Iya. Kalau sudah selesai, langsung kembali, ya?”

“Siap, Bos!”

Saya langsung mengambil sapu, dan menyapu lantai. Mengembalikan barang-barang yang sibuk berserakan. Berkawan dengan anak-anak, rapi itu adalah prestasi yang luar biasa. Mereka sangat aktif, meski sudah berulang kali merapikan, itu bukan jaminan semua tidak berantakan. Sepakat, kan? Mari nikmati semua ini, jika begitu.

Sering, mereka memang menunggui sambil melihat anak-anak itik yang lucu. Tapi, kok saat itu agak lama. Saya bertanya-tanya, apa gerangan yang menahan mereka sedemikian lama ada di belakang?

Barang-barang di rumah ini sudah tertata lumayan rapi. Lantainya juga sudah tampak bersih. Baunya masih menyisakan pewangi lantai. Bisa saja, 15 menit ke depan, wangi itu sudah tak tercium lagi.

“Kaaak! Diiik! Pada ngapain?”
Tidak ada sahutan.

Saya melihat anak sulung saya membawa gayung, berisi air, dan tumpah-tumpah. Kaus kuningnya pun basah di bagian dada. langkahnya cepat, seolah-olah sedang tergesa melakukan sesuatu.

Sebagai ibu yang suka penasaran dengan aktivitas ‘rahasia’ anak-anaknya. Saya mengikuti mereka. Dari balik  pintu kaca, saya melihat pemandangan yang membuat mata terbelalak karena heran dan kagum. Tangan kanan ini langsung memegang dada. bukan karena khawatir atau takut, tapi karena terenyuh.

Di sana, di dekat kandang unggas-unggas itu, ada kompor. Anak-anak panti asuhan biasanya ada yang memasakkan dedak campur sayuran untuk peliharaan mereka itu. Sehari dua kali, bila tidak pulang sore. Kadang, karena sibuk, maka para unggas hanya mendapat jatah makan sekali.

Anak sulung saya baru saja menyiramkan air yang berasal dari gayung merah di tangannya. Dia mengaduk-aduk isi panci, yang belum saya ketahui apa isinya. Dan, ini tentu anak sulung saya yang menyalakan kompor. Satu hal berbahaya bagi anak-anak jika dilakukan tanpa pendampingan orang dewasa, bukan?

Saya membuka pintu kaca.
Melangkah masuk untuk melihat apa yang dilakukan anak-anak saya. Baju adik penuh dengan dedak. Tangannya pun demikian. Tangan kakaknya lebih parah, dedak kering dan basah saling berlomba menghiasinya.

“Kakak sedang apa?” tanya saya setelah menghentikan langkah.

“Masak buat bebek, Mi. Kan embak-embak suka lupa kalau sore,” jawabnya santai.

“Lah, ini yang nyalain kompor, siapa?”

“Aku.”

Saya terus menunggui mereka. Ya-ya-ya. Setelah ini tentu saja ada bersih-bersih badan total. Saya sendiri belum pernah melakukannya. Melihat anak-anak seperti sudah ahli meracik makanan untuk unggas, saya malah bengong. Ingat banget dulu waktu kecil, saya hanya boleh melihat aktivitas itu. Kata orangtua saya, “Kotooor. Enggak usah bantuin. Biar saya saja yang kasih makan.”
Anak sulung saya yang usianya baru 5,6 tahun, mematikan kompor. Dengan gayung khusus, dia menyiduk isi panci. Ternyata ada dedak campur sayur kangkung. Dia membagikan pada wadah-wadah, ada tiga wadah yang sudah tersedia. Tanpa ada jijik, dan tetap rilex, dia menyelesaikan ‘misi’nya memberi makan pada unggas-unggas itu.

“Yuk! Pulang!” ajaknya.

“Emang udahan, Kak? Yang nyuci panci sama lainnya, siapa?”

“Udah, Mi. Biarin. Pancinya gede banget. Aku belum bisa nyucinya. Kan nanti Embak mau bantuin nyuci,” jawabnya lucu.

Saya mengikuti langkah mereka menuju rumah. Saya bersin-bersin. Ya Tuhan, ternyata anak-anak saya jauh lebih maju dari diri ini. Mereka begitu ringan tangan, dan tidak ada rasa jijik. Pada saat seusianya, saya sangat jijik dengan semua. Ternyata, saya sadar, yang membuat saya merasa begitu adalah karena saya tidak dibiasakan, dulu.

***
Dengan kepolosannya, anak-anak ternyata memiliki naluri berbuat baik. Beberapa jenak, mari kita simpan kalimat-kalimat larangan yang hanya akan mengebiri potensi mereka berbuat baik.
Sebagai orangtua, apa saja yang bisa kita lakukan untuk mendukungnya?

Mungkin, sedikit tips ini akan bermanfaat :
Tunggui, jaga mereka jika melakukan hal yang berbahaya.
Bila memang Anda tidak mengizinkan, maka bantu mereka melakukannya. Atau, berilah pengertian bahwa yang dilakukannya itu (misal menyalakan kompor), adalah hal yang memiliki resiko jika lalai.

Minta mereka untuk memberitahu ke kita jika akan melakukan hal tersebut.
Jika kita tahu, kita bisa mengawasinya secara langsung.

Ucapkan terima kasih pada mereka.
Sebab, kalimat ajaib itu akan membuat mereka bersemangat untuk terus berbuat baik.

Jangan melarang, apalagi memarahi atas apa yang mereka lakukan.
Kita wajib yakin bahwa yang dilakukannya adalah prestasi, bukan niat bunuh diri. Sama sekali bukan.

Beri mereka reward setelah melakukan itu.
Reward tidak harus barang mahal, bahkan bisa hanya berupa sepiring nasi goreng istimewa, atau semangkuk sup hangat yang sebenarnya adalah kebutuhan mereka. Katakan, “Taraaa! Ada hadiah buat kamu! Sepiring nasi goreng yang enaaak banget. Mauuu?”

Ceritakan hal baik itu pada pasangan.
Karena kita dan suami saling tahu, dia juga bisa membantu memberi nasihat baik yang mengingatkan akan bahaya, dan juga mendukung anak-anak berbuat baik.

Sadar, bahwa prestasi anak-anak bukanlah melulu soal kepandaian mereka dalam calistung. Ada kecerdasan moral, yang bisa kita dukung perkembangannya. 



Perbuatan baik yang dilakukan terus menerus akan menjadi karakter  baik.

Comments

  1. suka dan setuju dengan quotes terakhirmu. bahwa perbuatan baik yg dilakukan terus menerus akan menjadi karakter

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau sebaliknya, juga akan menjadi karakter sebaliknya. Hehe.

      Delete
  2. mendukung anak berbuat baik... udah seharusnya para orangtua berbuat demikian mbak. moga anaknya makin baik.. amin

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara