Tulisan yang Terinspirasi dari Miyuki Inoe, Gadis yang Terlahir 500 Gram, dan Buta.


pixabay


Dear, Sobat Kayla Mubara ...
Ini adalah tulisan yang saya buat di tahun 2014. Semua tanpa edit. Saat itu, rencana dibukukan bersama teman lain, hanya saja, saya belum mendengar kabarnya hingga kini. Saya posting di sini, dan menerima masukan berupa apa saja.

Cerita ini ada 5 bagian. Dulu, per bagian dibuat sebagai Cermin (cerita mini), sebisa mungkin, kita membuat ending yang mengejutkan. Belum merasa berhasil sih, tapi, dibuang sayang. Oke. Semoga terhibur.
 
Senandung Pinta Ibunda

Wanita berkerudung fuchsia bersenandung lirih. Nada-nada aksara yang keluar dari bibirnya menyapa halus dinding bening benda kotak di depannya. Sedemikian rupa dia memelankan sentuhan jemari pada tabung kaca. Tiada suara lain yang menyela selama denting jiwanya mengalun.

“Sebaiknya ibu istirahat dulu, saya akan menjaganya,” pinta seorang suster Tubuh bayi itu tidak hanya mungil, namun juga ringkih. Dia tidak menangis, dua tangannya berusaha menggapai sesuatu, napasnya lemah bak raga tanpa nyawa.

“Sebentar lagi, Suster. Izinkan saya bersamanya hingga napasnya normal,” ucap wanita itu, lalu melanjutkan senandung suci. Gelombang suara dari lantunan batinnya seolah menembus tabung kaca. Geliat ringkih amanah kecil itu menyambut sentuhan kasih bunda.

Di luar ruangan, senja mulai menyambut surya. Embusan angin yang menasbihkan daun-daun terbang ikut mendo’a.  

Wanita berwajah tegar itu tiada henti membumbungkan pinta. Tangan kiri meraba papan nama buah cintanya. Di bagian bawah papan itu tertulis ‘500 gram’ sebuah ukuran yang hanya Dia lah perancang segala kan menguak hikmah di dalamnya. Serta para hamba yang mencoba senantiasa mengikuti garis-Nya.

*** 

Mata Jiwa Ibunda

Wanita berhidung mancung melangkah ke arah Pelita. Luka bekas terciprat minyak goreng di hidungnya tampak masih lebam.
“Tadi ada yang kasih hadiah ini untuk Lita,” ucapnya riang. Bayi yang empat bulan pernah menghuni ingkubator itu berhenti mengayuhkan kaki. Tangannya yang sedari tadi menggapai-gapai udara juga ikut berhenti. Ia seperti menajamkan pendengaran.

“Ini kerincingan warna-warni, Lita,”ucap wanita itu sembari menggoyang-goyangkan benda berbentuk bulat dengan isi aneka warna sebesar kelereng. Dia pun menggeser mainan itu ke dua sisi arah. Kepala Pelita mengikuti arah suara. Wanita itu menarik simetris bibirnya ke kanan dan kiri. Simpul bahagia menghangatkan jiwanya.

“Kalau ini boneka bebek, Sayang ,” lanjut wanita bermata sipit. Pelita diam.

“Ini, lo, Nak … .” Sosok bertubuh jangkung itu menggerak-gerakan boneka di depan wajah Pelita. Putrinya masih diam.

“Li-ta, di sini,” dia menggeser ke kanan boneka bebek warna kuning. Pelita tidak bereaksi. Wanita itu mengambil mainan lain. Bila ada suaranya, gadis mungilnya bisa mengikuti suara melalui gerakan kepala. Namun, mata itu tidak berkedip. Hanya tertuju pada satu arah saat mainan yang ditunjukkan padanya tidak menimbulkan suara.

Bulir bening menusuk dua kornea. Dua tangan wanita itu gemetar mengangkat tubuh mini bayinya. ‘Ini anugerah kedua yang akan menempa jiwa kita, Lita.’ Dia mendekap hangat amanah-Nya di dada.



*** 
 
Berkayuh Semangat Bunda

Dokter pernah menyarankan agar wanita itu menggugurkan kandungannya, namun ia pertaruhkan nadi-nadi do’a dalam harapan untuk tetap melahirkannya. Ahya! Dokter juga memberi prediksi bahwa usianya hanya akan bertahan dua minggu setelah dilahirkan.

“Bunda, aku ingin bisa bersepeda …,” pinta gadis tuna netra itu dengan merajuk manja.
“Bagus!” jawab wanita berkulit langsat pada belahan jiwanya. Gadis berambut lurus legam melonjak girang. Rambutnya seperti pom-pom yang dihentak-hentakan.
“Kapan aku bisa belajar, Bunda?” tanyanya penuh gairah.
“Sekarang!” tegas wanita 30 tahun itu. Gadis kecil bergigi gingsul itu memeluk ibunya erat.

Kupu-kupu yang menari di antara bunga-bunga ikut mendo’a. kepak-kepak tasbihnya memuja keagungan Sang Maha Kuasa. Embusan angin membelai tubuh mungil Pelita.

“Tolong aku, Bunda!” teriak gadis 10 tahun itu. Dia merintih memegangi lututnya yang berdarah.
“Bangun! Akan Bunda balut lukamu, lalu kembalilah berlatih! Bunda akan mengikutimu dari samping,” jawab wanita itu lembut.
Entah berapa kali ia terjatuh, gadis itu telah lupa bilangan serta rasanya. Lihat! Dia mengayuh semangatnya hari ini. Pelita membuka mata serta hati tiap-tiap makhluk yang bernyawa.
 
***
 
Diary Pelita
Namaku Pelita dan aku tidaklah selalu bercahaya. Lihat! Hari ini seluruh penghuni bumi tak peduli padaku. Teman-teman sekelas hanya sibuk dengan dirinya masing-masing. Yang tuna wicara sibuk dengan kesunyian, katanya sih belajar isyarat. Sedang tuna grahita begitu semrawut mengeja aksara. Tuna rungu katanya sering salah paham dengan tuna wicara.
Aku?!
Hari ini aku benci sekolah. Lidah ini memangkas kata-kata Bunda sebelum beliau menuntaskan bicara. Tangan ini membanting pintu supaya tidak mendengar ceramah panjangnya. Aku bosan, apalagi anak-anak yang kutemui di gang-gang memanggilku ‘Gadis Mini.’ Satu keinginanku saat ini, pergi menenggelemkan diri ke dalam dunia yang mau memahamiku. Entah di mana.
Sunyi.
Aku benar-benar tenggelam bersimbah pedih dalam kejenuhan yang tiada tara. Ya! suara Bunda telah mereda. Aku bisa leluasa melayangkan khayal ke negeriku sendiri.
Namun
Perlahan, aku melangkah ke luar kamar. Ada suara berbisik yang seolah menahan isak. It-tu, suara Bunda yang sedang berdo’a. Beliau tidak meninggalkanku. Diri ini tidaklah sendiri, betapa kelirunya amarah menilai sebuah arti. Sengguk tak dapat kutahan lagi. Kutabrak kursi di samping pintu kamar Bunda, membenamkan diri dalam hangat peluknya sepanjang masa.
Namaku Pelita dan mulai hari ini berjanji akan berjuang agar bisa terus bercahaya.

***
 
Pelita yang Bercahaya
 
Detak jantung Lita bertambah cepat . Dia berhenti berlari, menajamkan pendengaran, mengambil tongkat lipatnya. Suara kendaraan terdengar riuh. Beberapa decit ban mobil membuatnya urung melangkahkan kaki. Ketika suara-suara mulai tedengar teratur, gadis 15 tahun melangkah cepat berpandu tongkat.

Gedung Sastra hanya beberapa meter di depan sana. Bundanya sudah menunggu dalam gedung sesuai janjinya. Lihat! Dia berhasil berdiri di depan pintu masuk.
“Juara ke tiga … ,” suara wanita dari arah kanan depan menggema. Gadis bermata sipit itu berharap namanya disebut. ‘Tidak apalah juara tiga.’
 “Cahya Diana Putri! Selamat, ya? Silakan maju ke panggung,” pinta suara itu lagi. Pelita menghela napas.
“Juara kedua … Pelita … ,” lanjut suara itu tertahan. Pelita berdiri, bibirnya menyunggingkan senyum.
“Pelita Kusuma Tiara! Selamat!” ucap suara yang memanggil tadi. Pelita kembali duduk, harapannya menyusup melalui lubang kecil di daun pintu gedung ini. Pupus sudah cita untuk menjadi penulis ternama.

“Dan inilah yang luar biasa. Seorang gadis yang telah difonis tak mampu menghela napas hingga hari ini. Dalam tempaan ibu yang luar biasa. Sebagai juara pertama … Denting Pelita Rahmia! Selamat, Sayang! Kamu berhak mendapatkan beasiswa pendidikan.”
Pelita tak dapat menahan haru. ‘Terima kasih, Bunda untuk bimbingan tulusmu.’ []

Pondok Cahaya, Yk, November 2014




Comments