FLP; Memberi Bukti, Tak Sebatas PHP


Beberapa buku karya anggota FLP milik saya

Pas banget dengan momen hati, sejak dulu ingin menulis tentang FLP, tapi belum  kesampaian. Akhirnya  ada event mendukung. Namanya tidak bertepuk sebelah tangan. Alhamdulillah.

Agar kompas tulisan ini jelas, saya akan mengaku dan menyadari bahwa saya adalah pengagum FLP, dan karya anggotanya. Bukan observer. Jadi, akan banyak titik yang saya sorot sebagai bukti kekaguman itu, ketimbang menelisik hal yang mengarah pada kelemahan atau kekurangan. Mungkin terbaca kurang fair, tapi inilah kenyataan.

Dulu, adik saya pernah cerita bahwa dia ikut FLP di Yogyakarta. Saya sebatas mendengar cerita, dan salut dengan model perekrutan. Ada test-nya, tidak langsung masuk begitu saja. Bagi saya, ini hal yang tidak biasa.

Di mata saya, FLP serupa oase yang hadir di tengah gersangnya karya sastra. Gersang bukan dalam arti tidak berkualitas, tapi dalam hal bebas yang bablas. Satu makna yang meloloskan pelakunya dari kata ‘Hamba’ sebagai seorang anak hamba-Nya.

Hal itu dibuktikan dengan tulisan-tulisan dan buku para penggiatnya. Selain indah dan santun, tulisan mereka memiliki pesan yang luar biasa. Saya kerap berdecak, “Gila! Ini kok bisa sih nulis begini?” pas saya cek kolom penulisnya, “O, pantes saja anak FLP.”

Contohnya nih, bukunya Kak Irfan Hidayatullah yang berjudul ‘Jangan-jangan Kau Bukan Manusia’. Ini buku kumpulan cerpen. Binatang-binatang yang ada dalam buku ini berlaku sebagai simbol akan sifat, atau karakter manusia (penafsiran saya). Ketika membacanya saya menebak-nebak, “Oh, ini serupa orang yang anu.” Atau, “Jadi begini? Wah, tragis.” Dan di sinilah letak nikmatnya membaca karya sastra yang ditulis anggota FLP. Hati dan pikiran diajak hidup, bukan terlena.

Buku lain yang melekat kuat dalam ingatan adalah Mei Hwa. Setting waktu dalam Novel Kak Afifah Afra ini mengingatkan saya yang saat itu masih di desa kelahiran. Dulu, saya dan bapak sebatas mendengar berita dari radio akan dahsyatnya peristiwa tahun 1998.

Sementara adik saya yang sekolah di Yogyakarta pun kerap menambahi ketegangan melalui cerita. Saya hanya membayangkan dalam doa, semoga Indonesia aman. Lebih aman, saat itu. Eh, buku biru muda ini mengingatkannya. Mencabik-cabik keharuan saya dan menyeret hati plus pikiran langsung ke 18 tahun silam.

Saya ikut terseret ke dalam kehidupan para tokoh novel. Dan ini merupakan bentuk kesuksesan penulis dalam menyuguhkan cerita.

Buku-buku karya anggota FLP milik saya juga

Adalagi buku antologi berjudul Luka Adalah Cinta. Tulisan-tulisan dalam buku ini menjadi penguat bahwa misi sastra santun yang dibawa FLP benar-benar direalisasikan. Kisah yang paling mendesak untuk segera diselesaikan dalam buku ini adalah tulisan Kak Sakti Wibowo. Cerpen berjudul ‘Lutut’, menggugah kesadaran religi saya. Hal kuat yang paling saya ingat adalah tentang seorang yang lututnya terbalik, bagaimana mau sujud?

Bagi saya, Kak Sakti Wibowo menyematkan pesan bahwa penyesalan memang datang terlambat. Menegur nurani tentang ibadah paling inti yang bakal ditanyakan pertama kali di akhirat; salat.

Seorang teman pernah mengritik saya, “Kok tulisanmu banyak yang ujung-ujungnya ke napas religi? Enggak berani keluar zona nyaman?”

Bingung juga saat mau jawab. Terutama karena ada kalimat ‘Zona nyaman’. Saya pun bertanya pada diri sendiri, apakah ini bisa masuk kategori zona nyaman? Bisa iya, bisa tidak. Iya jika ketika membacanya terbawa tanpa tujuan dari awal. Tapi, saya memilih yang tidak. Memang sudah beriktikad sejak awal, akan mengutamakan membaca buku-buku demikian. Ibarat penggunaan waktu, saya tidak akan membuangnya dengan hal sia-sia. Dan spesifik bacaan yang sia-sia pun sangat bersifat pribadi.

Menjawab dengan senyum serta ucapan terima kasih akhirnya menjadi pilihan. Setiap kita boleh membebaskan pikiran dalam menulis serta menetapkan tujuan, tapi, tetap pada akhirnya nanti pertanggungjawaban itu tak bisa lepas dari bagaimana kita berpikir sebelum bertindak.

Saya pernah mencoba, membaca tulisan lain yang bernuansa bebas dan liar. Sebagai orang yang sedang belajar, saya pun ikut menuliskan sesuatu yang mengarah ke sana. Eh, saya minta masukan dan langsung dapat teguran, “Semua tulisan bakal dimintai tanggungjawabnya lho.” Ternyata penegur itu adalah anggota FLP. Saya sangat bersyukur dan berterima kasih.

Selain buku-buku di atas, tulisan-tulisan Kang Abik, dan Bunda Asma Nadia membuka mata saya, dan menyemangati untuk terus belajar menulis.  

 FLP telah melahirkan penulis-penulis yang karyanya berkualitas. Semoga saja saya mengikuti jejak mereka dalam hal kualitas.

Begitulah sekelumit catatan saya dan FLP. Secara keseluruhan, saya belum mengenal banyak; lebih dalam. Semoga tulisan ini bisa menjadi awal atau pintu yang menunjukkan saya untuk tahu lebih dalam. Seperti pepatah lama, tak kenal maka tak sayang.  

Pada akhirnya, bagi saya, FLP sudah memberi bukti bersastra santun, tak sebatas PHP. “Semoga karta-karya yang tercipta dilingkupi barokah. Bila keliru langkah segera Dia tegur, dan kekhilafan-kekhilafan segera menemu perbaikan.

4990 cws
Ini dia foto buku-buku FLP milik saya yang terfoto secara tunggal :) :

Saya mendapatkan dengan membeli
 







Mendapatkan ini dengan beli


dapat ini juga beli

yang ini menang kuis

Beli juga

Beli lagi
Dapat ini karena menang kuis
Beli di Islamic Book Fair Yogyakarta
Beli
Beli
Beli

Menang kuis Sahabat Membaca


Comments

  1. buku luka cinta itu seprtinya bagus, pengen bca keselurahan

    http://www.hijabmoderncantik.com/

    ReplyDelete
  2. banyak karya-karya bagus dari FLP, nih :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mbak. Sangat banyak. Tidak hanya satu jenis tulisan lagi. Buanyak. Bikin kagum.

      Delete
  3. Wii keren keren banget. Wajib di check satu satu nih :3

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara