koleksi pribadi |
Alif.
Sepotong hati ini telah melukis namanya tanpa
kupinta. Begitu saja aksara menjalar, serta mencari tempat. Bersemayam entah
berapa lama. Ketika tiba-tiba pemilik nama mengambilnya, pantaskah
kupertahankan? Tetes-tetes hujan dari kedua mataku, apakah ini pertanda aku
mengharapkannya?Barangkali aku yang membabat jalan lain, selain jalan sepakat
yang terucap, “Kita jalani saja, semoga khusnul Khatimah.”
Dalam kerontang jiwa menuju angka tiga berbandul
satu buah nol di belakangnya, aku tergugu. Dia bilang melalui perantara media
hati. Aku gadis yang baik, akan mendapatkan laki-laki baik. Lebih dari tujuh
hitungan gemuruh di dada menyambut napas yang sesak. Betapa ingin kukatakan,
“Kau laki-laki terbaik yang pernah kutemui, selama ini. ”Ternyata aku tak
setangguh itu.Aku membalas SMS berita itu dengan tiga kata, “Mungkin belum
berjodoh.”
Dipan memprotes gulana dengan suara khas. Entah sudah
berapa kali kubolak-balikkan badan diiringi istighfar. Hati dan pikiran saling
melempar tuduh. Kenapa juga aku harus bertanya tentang sebuah kepastian? Karena
bilangan usia sudah protes, merasa tak wajar bila aku masih sendiri, atau bibit
yang menawan sudah menjadi tunas sebuah rasa?
“Kenang apa,
Lif?”
Mamak biasa memanggilku begitu. Beliau bertanya dari
atas tempat tidurnya tentang yangsebenarnya
menimpaku. Setelah bapak pergi, ruangan ini di-setting memiliki dua tempat istirahat, untukku, dan mamak. Suara
jangkrik terdengar lebih jarang dari detikan jam dinding. Tarian gerimis di
atas atap seperti menertawakanku dalam olok-olok.
“Tajwid… Tajwid, Mak.”
Tenggorokan seperti disumpal kanebo, begitu berat
menjelaskan ini pada beliau. Mamak turun diiringi suara derit tempat
tidur. Langkahnya setengah diseret, mendekatiku. Dengan cepat kusambar kain
jarik, dan menghapus gelasan air mata yang tertumpah. Tangan beliau yang dingin
menyapa pundak kananku. Hidung menghirup wangi kayu putih.
“Dia tidak serius dengan Alif, Mak.”
Hanya detik jam dinding, detak jantungku, dan deru
napas kami yang berkomunikasi. Visualku merekam seekor cicak yang berusaha
menangkap nyamuk. Akan lebih baik jika aku menjadi nyamuk itu. Tertangkap cicak
… The end!Tak perlu mendengar
gunjingan penduduk kampung, sindiran uwak-uwak, atau ejekan langsung yang
dihunjamkan dari dua mata mereka.
***
Sebelum kami bertadarus melalui HP.
Tajwid mengajukan sebuah usul, “Kita akan tadarus
bersama selepas shubuh. Muroja’ah
hapalan usai tahajud.”
Detak jantung yang tadinya normal, mendadak
terdengar nyaring ‘dug-dug-dug’. Harum perpaduan mawar, kantil, kenanga, dan
sedap malam menyapa hidung.
Aku belum pernah bertemu dengannya. Sejak itu aku
sibuk menghapal ulang surat-surat dalam Al-Qur’an yang jarang dibaca.Satu buku
khusus kusiapkan untuk mencatat sedetail mungkin peristiwa yang berlangsung. Setiap
pagi.
Laki-laki itu memiliki mata sayu, kulit sawo
matang. Hidungnya tanggung, mancung tidak, pesek juga bukan. Risti, teman kerjaku
di perpustakaan yang mengenalkan kami.
“Kalian sebenarnya memiliki prinsip yang mirip. Kenapa
sih enggak mencoba ta’aruf?”
Risti bicara sambil melipat tangan ke dada,
melepasnya lagi seraya bergaya penceramah yang menasihati jemaah.
“Kamu tahu dari mana?”
Aku mencoba menetralkan rasa.
“Dia kan pernah satu kelas denganku,” jawabnya lalu
tergelak.Aku seperti sudah mendengar penjelasan ini, tapi lupa.
“Atau… kamu pacarnya, dulu?”
Kali ini aku yang terkekeh. Menggoda Risti sambil
mengangkat dua alis. Ketika kudekatkan wajah kepadanya. Kepalanya ditarik ke
belakang. Ada selintas warna merah di pipinya. Jangan-jangan tebakanku benar.
Dalam kondisinya yang sudah beranak dua,
mengingatkan kenangan sepertinya dosa. Apa
benar tebakanku? Pikiran tiba-tiba sibuk bertanya. Ada rasa aneh dalam hati
ketika tebakan itu menguasai otak. Cemburu?
Kami menghabiskan waktu empat hingga lima puluh
menit hanya membicarakan Tajwid. Buku-buku perpustakaan yang semestinya distempel,
teronggok utuh di dekat gudang. Mungkin mereka sudah bosan melihat keanehanku. Sejak
ada nama Tajwid, aku menjadi labil. Kadang begitu semangat kerja, sering juga
merasa tak bertenaga.
“Sepertinya Tajwid juga menyukaimu.”
Risti menatapku penuh selidik, kali ini kurasa
pipikulah yang menyemu merah.
“Mungkin kami butuh media hati.”
***
Jawaban Tajwid seolah menghantam kesadaran.Aku
menghapal Kalam-Nya hanya untuk didengarnya? Tadarus demi bisa bertegur sapa
dengan laki-laki asal Jawa Timur. Huruf-huruf hijaiyah menelanjangi kekeliruan
niatku. Surat demi surat yang telah kuhapal merajuk, menyuruhku menyucikan
diri. Membersihakn niat yang berdebu, meluruskan harapan yang pernah
bengkok. Sajadah seolah turut bersedih, mukena menegur tanpa suara.Mana kamu yang dulu? Yang begitu getol berdo’a, khusyuk meminta.
Kursi kayu mungkin juga akan menolak bila kududuki.
Tasbihnya lebih suci dari kotor hati ini. Tunggu! Kotor? Apakah aku telah
membiarkan kotoran menetap di hati? Tidak salah lagi! Gerombolan-gerombolan
makhluk terkutuk yang dijanjikan neraka telah menelusup melalui aliran darah. Astaghfirullah.
“Ora usah
dipikir nemen-nemen.”
Mamak selalu bilang, tidak perlu dipikirkan dengan
serius. Ah, Mak. Aku tahu sorot mata itu. Betapa ada letupan rindu melihat
anakmu ini bersanding dengan seorang imam yang entah siapa.Aku yang terlahir
pertama sebagai anaknya, tinggal sendiri belum bersuami. Sekarang, aku seperti
anak bungsu, hanya berdua dengan mamak di rumah ini.
Aku memiliki dua adik perempuan. Tak usahlah
kusebutkan nama. Mereka sudah menikah, melangkahiku. Adik pertamaku menikah
empat tahun lalu, adik keduaku menyusul dua tahun berikutnya. Keduanya pernah
memberi batasan waktu, siapa tahu aku mau nikah dulu. Menikah bukan soal cepat
atau lambat, tapi kepasrahan diri pada-Nya, tanpa menggugat. Apabila kita
mendemo Tuhan, memprotes takdir, apa semua akan terselesaikan?
“Nyuwun
pendongane, Mak.Kula nggeh minta maaf.”
Akhirnya aku hanya memohon doa dan minta maaf pada
beliau. Dua hal itu saling terkait. Seorang ibu yang memaafkan khilaf anaknyaakan
berdoa dengan ridha. Mungkin saja jodohku lamban, karena ada perilaku yang
membuat mamak tak ridha, hingga doa-doaku masih terhalang.
***
Tajwid.
Alif itu… seperti alif! Lurus, melihat gambarnya
membuat hati memuji yang di atas. Bukan suatu yang mustahil jika dia akanmenjadi
seorang istri shalihah. Dari foto yang kulihat, wajahnya memiliki daya tarik
tinggi bagi laki-laki.Dua sinar matanya menggambarkan keteduhan, kesabaran, dan
kedewasaan.Tapi, ini baru fotonya. Aku tidak tahu apa dia mengeditnya atau
tidak. Dia memiliki sepasang bibir sensual yang menggairahkan. Dan ini yang
membuatku mengulang istighfar.
Jika aku bandingkan dengan Nun… masing-masing
memiliki keistimewaan berbeda.Aku salah telah menjala Alif dalam rutinitas
tadarus dan hapalan Al-Qur’an.Aku tak se-alim kegiatan itu. Jika hanya juz 30
bukan hal sulit, sebab aku hapal 20 juz lebih dari kitab suci itu.
Nun persis seperti huruf nun. Datang di satu titik
biasa, membawa hati menyelam kemudian kembali lagi di titik yang sejajar. Wanita
ceriwis yang memiliki ambisi tinggi. Dia teman satu kantor di Magistra Prima,
sebuah lembaga pelatihan kerja ternama di kota ini. Kedekatanku dengannya
sebatas teman, setidaknya begitu yang pernah kuikrarkan. Dia sering mengingatkanku
agar lebih serius… mencari istri. Wanita bertubuh mungil itu pernah memintaku menjadi
imamnya.Sejak itu aku menjaga jarak.
Mungkin aku memiliki kesan menggantung. Tapi, sudah
tiga tahun aku tidak menjalani hidup dengan pacaran.Aku akui sebelumnya memang
memiliki banyak teman wanita. Dan ini yang menjadi penyebab keraguan bila harus
merajut benang rumah tangga bersama Alif.
Jendela kamar kontrakan menatapku aneh.Aku
menatapnya kosong. Daun-daun rambutan berserakan di luar. Aku jarang menyapu
halaman samping kontrakan sejak kenal Alif.Waktu yang biasa kugunakan untuk
bersih-bersih, beralih menjadi… menelepon gadis itu selama tiga jam, setiap
pagi.Aku belum pernah melakukan ini sepanjang hidup. Sinting!
Sekarang intensitas telepon dengan Alif berkurang.Setelah
kujawab pertanyaan Risti, teman sekelas pas kuliah.Apa Risti membuka masa lalu
kami? Ya-ya-ya! sekarang aku sadar kenapa Alif begitu tampak menarik di hati
ini. Dia memiliki kemiripan dengan Risti. Damn.
“Kamu enggak denger aku ngetuk pintu, Mas?”
Aku tergagap.Nun memang tidak sungkan masuk ke
kontrakan, terutama bila dia merasa aku tidak ada. Juga karena wanita itu
memiliki kunci duplikat rumah ini.Kami membuka les Bahasa Inggris di sini. Aku
tahu harapan-harapan yang tumbuh di antara pikiran Alif dan Nun bisa jadi sama.
Dan ini dilema. Sesegera mungkin akan kuakhiri sesuatu itu. Memangkas harapan
Nun, atau menumbangkan keinginan Alif.
“Tumben datang, Nun?Sekarang kan les libur,” sapaku
sedikit ketus.
Kehadiran Nun tidak mampu menghalau pikiranku dari
fokus pada Alif.
Wanita itu menyampirkan ujung kerudung kiri ke pundaknya. Dia
menyodorkanbenda putih segi empat kepadaku.Bibirnya maju seperti anak kecil
yang marah pada orangtuanya.
“HP-nya ketuker nih.”
Aku jadi ingat, Nun lah yang memiliki ide agar HP
kami sama, dia bilang, “Seenggaknya HP-nya couple,
mau ya?”
Lebih sinting.
Happy Jumat mubarok. Jangan lupa sholawat, ya…
Pantas Nun bersikap ganjil.Ini sepertinya ada
hubungan dengan SMS dari Alif.
“Dia.… Siapa?”tanya Nun dengan nada manja.
Ah,aku merasa lama mengenal Nun, hingga nada
bicaranya sudah terekam dalam kepala. Nun mundur dan bersandar di tepi jendela. Dia
menggerak-gerakkan kaki kanan, kebiasaan bila hatinya tak tenang. Aku bisa
mencium wangi kenanga dari jarak setengah meter. Sebuah wangi khas yang kadang
membuatku lupa berpijak ke bumi.
“Oh…Alif. Kan ada tuh namanya, enggak di-hidden. Dia teman kerja Risti.”
Kenapa jawabanku jadi kian ketus. Waduh, akhir-akhir
ini aku seperti lupa jalan bagaimana menjaga perasaan Nun.
“Risti yang.…Mantan pacarmu itu? Apa ada benang merah
antara kamu, Risti dan... siapa tadi?” tanyanya berpura-pura. Aku tahu ada nada
tak terima dari intonasi suara yang berbeda. Nun seolah enggan menyebut nama
pengirim SMS di HP-ku.
“Alif,” jawabku tanpa melihat lagi ekspresi
wajahnya.
Aku tidak tertarik membahas ini. Kubiarkan Nun
memberondong dengan kata-katanya. Semakin sering dia bicara, aku lebih mengenal
bagaimana dia.
“Aku sudah bilang pada keluargaku. Satu bulan lagi
kamu akan ke rumah.”
Nun menurunkan nada bicaranya. Ada perpindahan emosi
dapat kurasakan di sini.
“Untuk?” tanyaku dengan suara lebih tinggi.
Kali ini Nun sukses membuatku menatapnya.Dia
tersenyum. Tatapannya seperti berusaha menyimpan sesuatu dengan rapi, atau
menata kejutan.
“Kamu
mau kan melamarku?”
Senyumnya
kian lebar.
Tubuhku
bergetar.
***
Alif.
Dia berbicara dengan nada tinggi. Seolah marah,
menyalahkanku melalui telepon. Wanita itu mengaku calon istri Tajwid. Ada rasa
takut kehilangan menyelinap dalam dada. Membisikkan kalimat-kalimat yang
mengguncang.Tajwid mungkin tak bertakdir denganku. Aku sudah mengikhlaskannya,
sejak malam penolakan itu.Penolakan?Dia tidak menolakku, pun menerima.Bisa jadi
penelepon ini memang alasan Tajwid tidak mau denganku. Ah, lak-laki, hidupmu
selalu diselimuti teka-teki.
“Saya teman FB-nya, Mbak.”
Sunyi.
Bunyi telepon terputus mengikuti tanpa ada salam
penutup. Kulemparkan tubuh ke atas dipan. Visual mengikuti cicak yang merayap
hati-hati. Dua detik visual berpindahmelihat seekor nyamuk yang hinggap di dekat lampu.
Kali ini aku berharap binatang mungil itu bisa terbang, dan menyelamatkan diri
dari kejaran cicak.
Aku menatap foto Tajwid melalui HP berfasilitas limit.Senyumnya tipis, raut wajahnya… biasa
saja. Sejak kapan aku menilai laki-laki demikian detail? Oh, jiwaku! Mungkin
sebaiknya sudahi saja kegiatan pagi itu. Aku cooling
down dulu.
Sirkaya di seberang jendela sedang berbuah. Diam-diamaku
iri padanya. Berganti musim diiringi pergantian status. Kadang berdaun lebat,
gugur, dan menyuguhkan butir-butir buah yang mirip sarang tawon. Sedangkan aku,
sudah lima musim cinta, masih single
saja. Musim menanti, mencari, mengharap, berdo’a dan… musim agresif.Untuk yang
terakhir, aku malu pada diri sendiri, keluar dari zona nyaman.Ketika bertemu
orang di musim itu, kepala lebih baik menunduk.
“Kalau didenger-denger, suara Tajwid lembut
juga. Sepertinya dia orang baik. Tuturnya halus, dan Mamak belum pernah
mendengarnya bersuara tinggi.”
Mamak memijit betisku.
“Aw! Sakit.”
Beliau malah terkekeh sambil menambah volume
pijitan.
“Apa dia sudah punya calon istri? Terus tadarus
kalian itu untuk apa? Kalau enggak ada rencana ke depan yang lebih baik,
lama-kelamaan hatimu terpaut padanya.”
Mamak memang sulit ditebak. Pada waktu tertentu
berganti opini menanggapi satu laki-laki. Namun, menyanggahnya hanya melukai
hati.
“Saya sudah pasrah.Mamak bener juga, hati Alif sudah
mulai masuk dalam perangkap yang dipasang oleh pikiran sendiri.”
Mamak berhenti memijat.Pandangannya menerawang,
seolah melompati jendela dan entah singgah di mana. Jadi teringat bapak. Anak
yang akan menikah tanpanya, hanya aku. dan pernikahan itu pun entah kapan akan
berlangsung.
“Pilihan bijak.Jodoh, rezeki, dan mati, semua adalah
rahasia Illahi.”
Bukan sekali ini mamak mengucapkan hal sama. Kadang
pikiranku iseng, setelah mamak selesai bicara, lalu terdengar lagu yang
menguatkan.
Sgala yang terjadi dalam hidupku ini
Adalah sbagian dari misteri Illahi.
Lagu itu tak pernah terdengar. Hanya batinku saja
yang mendendangkan. Jika mamak mendengar, mungkin beliau akan menegur keanehan
ini.
HP-ku bergetar.
Aku meraba-raba tempat tidur.Ada SMS yang membuat
mata membelalak, detak jantung memuncak.Berulang kueja susunan huruf itu. Bulir-bulir
kristalkornea turun perlahan. Benarkah yang dikatakan Tajwid…?
***
“Sup, bandeng goreng, dan sambal.Kayaknya sudah cukup
ya, Lif? Apa kamu mau menambah menu spesial lain?”
Pertanyaan mamak membuat pipi dan telingaku hangat.
“Siip.”
Kuacungkan jempol dua. Beliau membuka kedua tapak
tangannya seperti gaya Pak Mario Teguh.
Kami menata menu makan itu di meja kecil samping
mesin jahit mamak. Dua jarum jam di tanganku saling dekap di angka sepuluh.
“Sudah sampai mana?”
Wajah mamak sumringah.Sebenarnya
ini baru awal dari sebuah kata pertemuan. Untuk pertama kalinya aku akan
melihat Tajwid. Demikian juga sebaliknya.Dia ingin kita ta’aruf.
Kemarin aku sempat melihat kata itu di KBBI, artinya
perkenalan. Seingatku dalam Bahasa Arab juga memiliki arti sama. Namun, di
Indonesia kata ini seperti khusus untuk sebuah pertemuan… sebelum meminang
seseorang. Entahlah!
“Katanya sih 15 menit lagi, Mak.”
Aku membaca SMS terakhir Tajwid.
Dari tadi tanganku basah terus.Perasaan aku pakai
lotion sedikit.
“Kamu enggak perlu tegang gitu, Lif.Santai… selow
saja seperti hari biasa. Oh, ya.Mamak perlu mengingatkan. Pertemuan ini juga
masih ada dua kemungkinan, kan? Mungkin kamu dipinang, atau cukup sampai di
sini saja.”
Kalimat mamak seperti sengatan listrik yang
mengendalikan senyumku.Wara-wiri
kudamaikan hati untuk mencoba netral.Kalimat mamang tak bisa disangkal.
Benda di saku rokku bergetar.
“Tajwid sudah di jalan samping rumah, Mak.”
Detak jantungku berimprovisasi. Aku mengetik SMS
jawaban. Jari-jariku gemetar.
Suara mesin motor memberi sinyal kehadirannya.
Ada dua laki-laki turun dari atas motor merah. Satu
berpakaian casual, lainnya memakai baju koko dan celana katun.Yang kedua itu…. Sepertinya Tajwid.
***
Tiga puluh menit setelah Tajwid pamit pulang.
“Saya iya, Ukhti,” ucapnya tanpa penjelasan.
Tiba-tiba bilang iya.Iya kalau di sini bisa
dilanjutkan dengan banyak kata pilihan. Iya deh titik-titik, iya juga koma, iya kalau misalnya…. hmm.
“Iya kenapa, Mas?” tanyaku pelan.
Aku mengutuki panggilan yang tiba-tiba
berubah.Mas?Ya Allah.biasanya cukup panggil, “Wid, atau Tajwid.”
“Iya siap menikah dengan Anti,” jawabnya bak kekuatan
listrik yang dahsyat. Darahku mendadak hangat. Ubun-ubun dan telapak kaki seperti
tarik-menarik.
Kukumpulkan lagi serpihan harap dalam doa-doa yang
berserak. Menyatukannya dalam tasbih.Memang benar! Jodoh pasti bertamu. Bahkan,
dia hanya akan pulang setelah memesan tempat di hatimu… untuk tinggal di sana.
PC_Yk.19.04.2015.
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara