Antara Menulis dan Beladiri Karate


gambar dari bobo.kidnesia.com
Apakah haram--benar-benar enggak pantas seorang penulis pemula mengumumkan dirinya baru saja menerbitkan buku, menang event, atau tulisannya dimuat media?

Saya pernah membaca sebuah tulisan yang menyebutkan beberapa kesalahan seorang penulis pemula, satu di antaranya adalah gampang mengungkapkan kegembiraan di media. Ada yang menamainya dengan narsis, atau lainnya. Bagi sebagian orang mungkin bisa merupakan branding diri.

Di dunia ini, tidak hanya ada satu macam manusia. Sebab itu, macam pengungkapan rasa gembira pun tentu sangat berbeda satu sama lain. Jika upload foto buku pertama, memajang naskah yang dimuat media merupakan kesalahan, maka saya tidak sepakat dengan opini ini. Bisa jadi yang mengkategorikan pada hal tersebut justru mungkin pernah mengalami hal sama.

Tulisan saya ini mencoba menyikapi dari sudut pandang sebagai manusia biasa. Saya mengkorelasikan menulis dengan seni beladiri karate. Pada hal apa keduanya bisa ditarik benang merahnya? Mari luangkan sebentar untuk membaca.

Seorang yang baru saja latihan karate akan merasa senang jika mampu melakukan Mawashi Geri-- tendangan kaki dari samping. Dengan bangga dia bilang pada teman satu angkatan, "Woi! Aku udah bisa Mawashi, lho." Lalu teman-teman satu angkatan tersebut berdecak, dan mengucapkan selamat. Bagi karateka--sebutan untuk praktisi beladiri karate, yang tingkatan pengetahuan beladirinya lebih tinggi, sabuk hitam misalnya, gerakan itu sudah wajib dikuasai. Akan sangat mungkin jika meskipun namanya sama-sama Mawashi, tapi antara pemula dengan sabuk hitam memiliki gerakan yang berbeda. Ya! Terutama dari segi bentuk, tenaga, dan kecepatan, atau yang sering disebut Kime.

Dari sini akan ada kesimpulan bahwa jika yang merespon berbeda, maka akan memiliki penafsiran tidak sama. Walaupun ada satu aturan sama.

Seorang penulis pemula begitu senang di awal-awal tulisannya dimuat antologi indie. Yang bila dimuat kontributornya membeli bukunya sendiri dengan harga diskon. Dia memajang e-sertifikat. Menuliskan judul, "Buku Antologi Pertamaku." Lalu berdatangan komentar yang beda-beda. 

Bila sesama penulis pemula ada yang belum masuk kategori, mereka normal-normal saja mengucapkan selamat kepada yang sudah lolos. Tidak jarang ada pula rasa iri positif yang dapat memotivasi untuk terus berusaha tembus atau lolos. Lalu apakah tindakan penulis yang lolos itu bisa dikategorikan kesalahan?

Bagi saya, jawabannya adalah T-i-d-a-k, atau bisa juga Y-a!
Jawaban Tidak, apabila upload foto memang untuk branding diri, satu bukti bahwa dia bersungguh-sungguh hingga mencapai satu pencapaian. Hal ini tentu akan diikuti dengan usaha-usaha lain dan pencapaian lain yang lebih. Dibuktikan pula dengan keberlanjutan dalam berkarya, belajar, menulis, dan menulis.

Jawaban Ya, jika bertujuan untuk sombong, merendahkan orang lain, apalagi terbukti hanya sampai di situ saja usahanya. Tidak ada kelanjutan, dan tidak ada perbaikan yang dilakukan. 

Seorang atau penulis yang sudah memiliki banyak buku dan seorang yang baru saja belajar EYD, tentu akan berbeda melihat si penulis lolos antologi tadi. Sama persis ketika seorang karateka pemula dengan Majelis Sabuk Hitam dalam menilai Mawashi Geri.
Kedua hal di atas merupakan pilihan. Setiap pilihan memilik konsekunsi sendiri bagi sang pemilih. Tentukan saja pilihan Anda, dan bertanggungjawablah akan apa yang sudah dipilih untuk dipilah menjadi jalan menuju harapan.

Kembali sebentar ke beladiri karate. 
Karateka bersabuk putih, kuning, hijau, biru terkadang lebih terlihat sok-sokan (tidak usah tersinggung bagi yang tidak merasa) menantang teman berduel, bersaing, atau cepat-cepatan melakukan satu gerakan. Mereka begitu sumringah ketika bisa menjuarai satu event bernama Kejurfak (Kejuaraan Antar Fakultas).  Sedangkan sabuk cokelat dan hitam, mereka merasa baru saja mempelajari tekhnik, ada banyak hal lain yang belum diketahuinya.  Apalagi bagi mereka yang berprofesi sebagai atlet nasional, bukan tidak mungkin ada rasa kurang yang banyak. Entah kurang latihan, kurang membaca, kurang mendalami filosofi dan lainnya. Kenapa demikian? Karena dunia yang dilihat sudah berbeda.

Bila dalam menulis ada yang sok-sokan di awal-awal pembelajaran, saya rasa ini tak ubahnya mirip dengan kondisi si sabuk putih, kuning, hijau, dan biru. Mereka baru melewati beberapa tahap dalam menulis, jika sampai pada posisi sabuk hitam (dalam karate) atau menerbitkan satu buku dalam menulis, barulah sadar, "Oh. Ternyata dunia karate/menulis ini begitu luas. Saya baru saja mengetuk pintunya. Atau malah baru saja berjalan melewati pintu gerbang. Ada banyak hal yang belum saya ketahui."

Biar ... biarkan semua menjalani prosesnya.


sumber gambar : seruu.com


Antara menulis dan beladiri karate, menurut saya, sama-sama akan ada seleksi alam. Siapa yang sanggup bertahan, dia yang akan melanjutkan. Dalam melanjutkan pun ada yang lamban, cepat, atau sengaja santai. Dan semuanya memiliki hasil yang berbeda. Lamban dengan hasil maksimal, cepat dengan hasil memuaskan, atau santai dengan hasil yang cukup membuat hati tersenyum. Mereka yang lolos seleksi alam tidak terlalu mempersoalkan bagaimana ributnya dunia  menilai pencapaian yang sudah ada. Yang ada dalam benak mereka hanya satu urutan data : berusaha, berdo'a dan pasrah menerima hasilnya.

Jadi
Jika Anda memajang hasil pencapaian di social media, tidak usah risau dengan penilaian miring, atau kurang pas di hati Anda, sebab yang terpenting apa yang ada dalam peta cita-cita Anda. Dan saran saya untuk Anda yang sudah banyak memiliki karya, mohon berikan tanggapan positif. Bukankah pengalaman mengajarkan untuk berempati, layaknya orangtua yang mencoba memahami anaknya.

Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberi semangat kepada teman-teman yang tak kenal lelah menebar kebaikan, teman-teman pejuang pena yang berupaya merangkai aksara.


Penulis adalah mantan atlet karate, Ibu Rumah Tangga yang bercita-cita menjadi Full Time Writer


Comments

  1. Yah, itulah dumay Mbak ada banyak sudut pandang di sana. Tapi aku idem sama pendapat Mbak Kay. mensyukuri nikmat ketika meraih mimpi, dan mungkin bisa menjadi cambuk untuk teman-teman yang lain. Kenapa tidak? Apakah bersyukur itu salah? Eh kalau misal buku baru terbit, promo sekaligus syukur juga perlu dilakukan bukan? Bagaimana orang tahu kita punya karya kalau tidak di promosikan.


    walah aku ngomong apa. hehhh. Intine idem sama Mbak Kayla. ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, soalnya aku orang yang ikutan semangat kalau teman-teman pada dimuat media, buku pada terbit.

      Elah, ngomongnya dimengerti banget kok

      Delete
  2. Hm ... tak ada gading yang tak retak. Bayi pun harus diberi semangat lagi ketika baru bisa satu langkah. Tak mungkin langsung berlari.

    ReplyDelete
    Replies
    1. He eh. Memang butuh proses. Kalau pas baru berdiri anak-anak dimaki, saya tidak tahu bagaimana mereka berkembang.

      Delete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara