Ada yang bilang, jika rumah tangga masing-masing jalan sendiri, maka tunggu saja kehancurannya. Suami bekerja keras, istri enak-enak tanpa rasa bersalah menghambur-hamburkan uang, atau minta ini-itu yang merepotkan suami. Istri banting tulang, suami santai-santai dan enggak greget dalam bekerja. Setidaknya, itu hanya contoh secuil saja. Ada banyak kasus lain, yang menjadikan seolah biduk rumah tangga berjalan ke dua arah dengan dua nahkoda. Mereka sama-sama ingin maju, namun mengayuh ke arah yang berbeda, sehingga yang terjadi adalah kemandegan yang tiada ujung.
Saya
adalah orang yang ingin bercerita, perihal ini. Perihal kesaksian saya pada
kasus yang bertolakbelakang dengan kalimat di awal. Justeru ada, mereka yang
berjalan sendiri-sendiri, namun setia bersama hingga satu di antaranya menutup
usia. Dan dua tokoh utama saya adalah wanita. Dengan ini, saya menyatakan bahwa
dua tokoh saya ini adalah wanita super kuat secara mental, yang hanya mereka
saja yang mampu mengukuhkan saya, pada saat kaki gemetar menopang badan, untuk
berdiri. Namun, izinkan saya untuk tidak menyebut nama aslinya, sebab saya akan
fokus pada kisah, bukan nama. Terima kasih, untuk pengertiannya.
1. Wanita
Penggenggam Duri yang Berjalan dengan Luka Sayatan Belati Sepanjang Hari.
Itu lah gambaran yang saya buat,
untuk tokoh pertama saya ini. Dia adalah wanita yang menerima kekerasan verbal,
fisik, bahkan financial. Dia bekerja untuk makan seluruh penghuni rumah tempat
tinggalnya. Dia biasa nyemil kalimat kasar, sarapan tamparan, menikmati kudapan
pagi dengan caci-maki, makan siang dengan beberapa kali tendangan, dan
menghantar petang dengan ancaman pembunuhan. Malam hari, dia melayani
laki-lakinya selayaknya istri yang patuh.
Kau mungkin akan lekas berkata, “Ah,
kalau macam ini, lebih baik berpisah. Untuk apa terus bersama, bila tidak ada
sedikit pun celah untuk bahagia, apalagi mengekspresikan diri.”
Oh, tidak, Kawan. Dia bukan kau, bukan juga saya. Dia adalah dia. Yang sudah ragu apakah otaknya waras, atau gila, tetapi demi anak-anaknya (yang mungkin katamu ini alasan klise) tetap bertahan. Bukan hanya lima, atau sepuluh tahun, tetapi lebih dari 29 tahun bersama.
Bagaimana?
Seperberapa usia pernikahanmu?
Ah, saya bukan ingin membahas ini,
mari lanjut membaca cerita saja!
Setiasa, panggil demikian saja
namanya. Sudah saya katakan, ini bukan nama sebenarnya. Setiasa memiliki banyak
anak, saya tidak juga akan menyebutkan bilangannya, karena saya khawatir, kau
akan menebak-nebak, siapa sih tokoh utama si Setiasa ini dalam kehidupan nyata.
Anak-anaknya sudah siap, bila ibu
bapaknya kelak harus berpisah. Mereka ada yang memilih akan ikut ibunya, dan
hanya anak terkecil saja yang belum banyak paham apa-apa, memilih ikut
bapaknya. Beda lagi si anak pertama, dia mengajak adik-adiknya untuk tidak ikut
siapa-siapa, bila memang orangtua mereka pada akhirnya bercerai. Dia akan hidup
berdiri tegak sendiri, tidak ikut ibunya yang terlalu lemah, atau bapaknya yang
terlalu pemarah. Adik-adiknya pun berpikir, kemudian setuju. Persetujuan yang
tidak pernah terjadi, karena hingga mereka mengerti arti hidup, perceraian
tidak pernah ada dalam kisah hidup keluarga mereka.
Setiasa menjalani hari dengan peran sebagai istri yang patuh, walaupun
tidak diperlakukan baik, menjadi ibu sekaligus tulang punggung keluarga yang
bila dia tidak bergerak, maka anak-anaknya akan kelaparan. Dia menjalani itu
hingga satu waktu, suaminya berpulang ke hadapanNya.
Pada anak-anaknya, Setiasa
berpesan, “Seburuk-buruk hal halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.
Sepahit dan sakit apapun, jaga lah rumah tanggamu, jangan sampai ada
perceraian.”
2.
Pergi
Setelah Menyadarkan Suami
Tokoh
kedua saya kali ini berbeda dengan tokoh pertama dalam ending ceritanya. Tiase,
nama samarannya, menjadi korban KDRT yang tidak ubahnya seperti Setiasa.
Saudara, orangtua, bahkan siapa pun yang mengenal Tiase pasti menganjurkan
untuk segera bercerai.
Jika
suatu hari ada bekas lebam di pipinya, itu adalah hasil ringan tangan yang
melayang milik suaminya. Bekas itu baru saja berangsur ganti warna, mendekati warna
kulit, disusul dengan bekas lain yang masih baru. Tangan, pipi, kaki, punggung,
pinggang, dan banyak bagian tubuh lain yang sudah merasakan kekerasan fisik dari suaminya.
Dalam
kondisi demikian, si suami tidak bekerja. Tiase lah yang berdagang, dan untuk mengamankan
kisi-kisi kehidupan aslinya, izinkan saya tetap menyimpan apa barang
dagangannya.
Komplit
sudah deraan rasa yang Tiase terima. Sakit, perih, sesak, tapi dia memilih
sabar, dan bertahan. Pada satu hari, entah dari mana lanjaran kisah si suami bermula,
dia insaf dan meminta maaf pada istrinya. Kala itu, istrinya bertakbir, sebab
suaminya sudah menjadi lebih baik. Tidak ada lagi KDRT, walaupun masih juga
belum bekerja.
Tiase
sakit parah. Dia terbatas ruang geraknya. Suaminya merawat penuh kasih sayang.
Anak-anaknya sudah mulai besar. Puncaknya, Tiase seperti tokoh baik yang sudah
selesai menjalankan tugasnya, dia meninggalkan dunia ini, dalam ketenangan di
wajah. Seolah-olah, tugasnya untuk menyadarkan suami, yang tadinya orang lain,
dan menjadi orang dekat, sudah komplit misinya. Jadi, sudah waktunya dia
istirahat.
3. Laut Berbeda dengan Ombak yang Sama
Hidup
bila bisa diibaratkan laut, ia bisa saja memiliki ombak yang sama, walaupun
berbeda laut. Timur dan barat misalnya. Guncangan yang terjadi pun bisa
berbeda. Mereka yang mendapat ombak bisa jadi ada yang sudah siap, ada yang
belum. Ada yang pasrah dan menyerah, ada yang sigap mau belajar dan berusaha
agar tidak karam.
Jika
Setiasa dan Tiase mampu menjadi kokoh sesuai takaran mereka, mungkin kita bisa
menjadi yang lain, yang juga sama-sama kokoh versi terbaik kita. Setiasa dan
Tiase pada akhirnya sama-sama berpisah dengan suaminya. Bila suami Setiase
meninggalkan dunia, istri dan anaknya, Tiase lah yang pergi di lain cerita.
Apakah
kau ada di posisi Setiasa atau Tiase, hari ini?
Atau,
kau ada di posisi yang lebih beruntung atau merasa lebih buntung?
Kau boleh ceritakan pada ruang komentar blog ini.
Terima kasih.
Selamat
untuk Setiasa dan Tiase yang SETIA HINGGA satu di antara pasangan mereka TUTUP
USIA. Tentu saja, kita bukan sedang membahas perihal kehidupan nantinya
bagaimana, kita sedang melihat apa yang tampak, dan bisa kita ambil himah
darinya.
Realita kehidupan yang pedih, hanya hati yang terpilih bisa melewati ini dan bisa jadi seribu satu wanita sekokoh baja, setia mengabdi pada kekerasan karena sebuah keteguhan dan keyakinan hati yang belum tentu bisa diterima hati-hati perempuan lain. Dan saya ... sepertinya wanita yang di seribu Mbak. Nice share ....
ReplyDeleteIya, Mbak. Mereka kuat walaupun secara fisik bisa jadi sebaliknya.
DeleteJadi inget pada suatu masa, pengen pisah gitu kak, tapi pas main ke rumah tetangga tetiba dia cerita waktu ke pengadilan, mau urus hak asuh anak, anak angkat saudaranya, disana banyak ngantri yang mau cerai, ditanya deh beberapa sama tetanggaku sambil menunggu gilirannya. Terus dia bilang, kalau saya mah janda terhormat, pisah karena ditinggal meninggal. Dari situ langsung aku bersikukuh buat lebih sabar menghadapi riak2 kehidupan kak. Alhamdulillah orangtuaku tuh dukung untuk terus sabar apapun keadaannya. Do'a nduk, sabar, perbesar hati mu, semua itu ladang pahala buatmu. Banyak bersyukur, cari banyak kebaikan pada suamimu dan keluarganya. Karena biasanya bukan cuma dari suami ya kak, keluarga suami juga bisa jadi pemicu.
ReplyDeleteNasihat yang sangat mulia dari seorang ibu, yang tentu saja sudah lebih banyak makan garam, ya, Mbak?
DeleteSaya sendiri baru tau ada cetita begini mba, yg saya tahu justru musibah yg paling besar dlm hidup ini bukan kehilangan harta & kehilangan org yg kita cintai, tapi ketika kita kehilangan hati nurani.ada 2 org yg tidak bs dikalahkan dlm hidup ini, org yg tdk mudah menyerah & org yg sabar.
ReplyDeleteBiasanya dua itu sepaket ya, Kak? Sabar dan tidak mudah menyerah.
Delete