![]() |
Dokumen pribadi |
Ada gemuruh,
tanpa suara, dalam dada. Sesak menyusul himpitan pada ruangnya yang terasa
pengap. Bagaimana mungkin, aku meninggalkan komunitas ini, sedang ia adalah
satu-satunya komunitas (yang mungkin saja belum besar), yang menyangga beberapa
bagian mimpiku, melangkah sebagai penulis?
Sore itu, aku
membonceng motor suami. Bersama dua bocah yang wajahnya menahan kantuk, melesat
di atas jalanan Yogyakarta yang tidak terlampau ramai. Kami berhenti di satu
titik, tempat bertemu dengan dua teman. Dari sana, kami akan menuju titik lain,
ke tempat teman yang lain, satu desa, di Kecamatan Jetis, Bantul, Yogyakarta.
Setelah membaca
peta dalam HP, mengikuti petunjuk, dan hampir keliru arah, kami pun sampai.
Beberapa teman sudah ada di sana. Sapa tuan rumah, menyambut kami. Sebelum
masuk ke halaman rumah, aku menjabat tangan suami, dan menciumnya. Anak-anak
masih ada di atas motor.
“Saya tunggu di
luar. Kalau selesai, kabari saja.”
Mereka pergi,
aku melangkah menuju rumah teman. Tempat pertama kalinya TPY--Temu PenulisYogyakarta dirintis. Serupa orang kumpul biasa, tapi ada yang berbeda. Kali
itu, draft naskah milik tuan rumah kami bedah. Kemudian, semua memberi masukan,
berdiskusi, bagaimana bila itu dikirim ke penerbit tertentu.
Azan Maghrib
berkumandang. Semua laki-laki yang ikut berkumpul, berdiri, akan menuju ke
masjid. Kami, para wanita, cukup akan salat di rumah teman kami saja. Aku
melepas kaus kaki, sambil ngobrol ringan, tentang di mana lokasi teman lain,
tinggal. Ngekos, ngontrak, atau rumah sendiri.
[ Saya tunggu di
masjid. Masih lama apa enggak? ]
Aku sempat
membuka HP. Membaca pesan dari suami.
[ Anak-anak
tidur.]
Ah!
Aku membayangkan dua wajah bocah kami. Polos, tanpa dosa, terbaring meringkuk di teras masjid, hanya demi menunggu ibunya yang belajar menjadi penulis. Aku egois?
Aku membayangkan dua wajah bocah kami. Polos, tanpa dosa, terbaring meringkuk di teras masjid, hanya demi menunggu ibunya yang belajar menjadi penulis. Aku egois?
Kenangan-kenangan
itu indah, namun menyakitkan. Sebab, hari ini, aku akan naik kereta menuju
Surabaya. Meninggalkan Yogyakarta, mungkin untuk selamanya. Menuju satu desa,
di satu kabupaten, ujung timur sana, yang mayoritas penduduknya adalah petani
tembakau.
Apakah
meninggalkan Yogyakarta, sama artinya dengan memotong mimpiku untuk menjalani
hidup sebagai penulis?
Apa nanti, di
sana, aku masih bisa menulis?
Apa nanti di
sana, aku benar-benar meninggalkan Yogyakarta.
Selamat tinggal
TPY.
Doakan aku,
semuanya. Semoga mimpi-mimpi untuk terus menulis, masih bisa disemai, di ladang
baru. Ladang yang dalam mimpi tidur pun belum pernah terlintas.
Semangat mbak Kay. Lahhhh nggak ketemu di TPY lagi dong
ReplyDeleteHihihi. Ini flashback, Buk. Menceritakan yang sudah terjadi.
DeleteLho...pindah omah mb?
ReplyDeleteSekitar dua tahun lalu, Mbaksay. Storynya begin. *bahasanya remuk.
Delete