![]() |
Sumber gambar: klik |
Gerimis
menabur butiran bening bak garam lembut, putih. Selayaknya dalam hidup garam
itu perlu, secukupnya. Seperti pengalaman gadis yang menyembul dari balik pintu
perpustakaan. Dapat kulihat jelas dari sini. Dekat tempat telepon, di balik
jendela kaca berteralis bunga.
Pagi
di awal tahun ajaran baru, kantor TU, Tata Usaha gempar. Kehadiran gadis
petugas perpustakaan baru menjadi topik pergunjingan utama. Satu sama lain
saling berbisik. Ibu-ibu pegawai kantor sekolah negeri ini berisik.
“Dia
kan baru saja ke luar dari rumah sakit jiwa. Kok bisa ya diterima kerja di
sini?” tanya sinis meluncur dari bibir Bu Ivi, bendahara TU.
“Tanya
saja sama temannya!” jawab ibu berblazer
ungu sambil melirik ke arahku. Dapat kurasakan polusi iri dan tidak suka
mewarnai udara kantor.
“Maaf,
saya masih merekap gaji pegawai untuk tiga bulan terakhir,” jawabku membuat
mereka bersungut. Bukan karena Bening sahabatku dari kecil. Diri ini ingin
mengalihkan perhatian semua dari hal tanpa manfaat.
“Aneh
juga sih, kok ada seorang masih saja bersahabat dengan pengidap depresi. Enggak
takut ketularan, ya?” aku tersentak mendengar perkataan Bu Ivi. Langkah kaki
ini meninggalkan meja telepon. Berbalik menatap kedua kornea teman sekantor
tanpa bicara. Tega!
***
Dua
puluh empat hari menjadi waktu kelam bagi Bening, sahabatku. Selama itu pula
aku datang ke bangsal orang-orang istimewa. Rumah sakit jiwa. Kadang sehari
tiga kali. Dia tak mengenaliku.
“Pergi!
Jangan ganggu aku. Kamu siapa?” tanyanya menusuk bulir bening dua ujung mata
ini. Tangan kirinya mencengkram selimut ke dada. Telunjuk mengacung ke arahku.
Kugenggam tangan kanannya setelah menurun tempo ketegangan. Gadis berkulit
kuning langsat tersedu. Matanya sayu, bibir mengelupas, dan ada bekas hitam
pada pelipis kanan kiri.
“Bening
… Sabar, ya? Aku mau membacakan sesuatu yang menenangkanmu,” lirihku sambil
mengusap rambut mayang acak-acakan. Dia hanya diam. Urat-urat biru yang tadinya
terpampang kaku dari balik kulitnya mulai mengendur. Perlahan kepalanya bersandar ke bahuku.
Kubacakan ayat-ayat suci untuknya. Dia tidur.
***
Perpustakaan
sepi ketika siswa masuk kelas. Aku duduk di kursi pembaca setelah mengambil dua
buku fiksi dari rak kayu. Tingkah teman-teman sekantor menggiringku untuk ke sini.
Ustaz
di pesantren pernah berkata padaku. Antara kesurupan, terkena sihir memiliki
ciri-ciri sama dengan orang … maaf, gila. Kalimatnyalah yang kupegang
menghadapi kondisi Bening. Bagiku dia bukan depresi. Dia hanya sedang alfa.
“Alif?
Kamu masih sahabatku, kan?” lamunanku buyar bersama sapa Bening yang tiba-tiba.
Kuperhatikan wajahnya agak lesu. Ada bekas air mata pada bulu mata lentiknya.
Basah.
“Tentu
saja, Bening. Ada apa?” tanyaku tanpa menebak. Hanya melihat reaksinya.
“Aku
tadi mendengar percakapan ibu-ibu di ruang TU,” jelasnya singkat. Dua stop map
folio berwarna cokelat dihempaskan ke meja peminjaman, dekat meja bacaku.
Aku
mulai menebak apa yang diucapkan teman-teman sekantor tentang Bening.
“Sudahlah. Lupakan dan maafkan.
Buktikan prestasimu agar mata mereka terbuka hingga mulut tekunci. Menyadari
setiap manusia memang terlahir istimewa.” Kuletakkan buku fiksi. Baru kubaca prolognya
saja. Sesaat berdiri, meletakkan dua tangan pada pundaknya. Allah, izinkan aku
menambal kerapuhan ini. Anugerahkanlah kebajikan pada sahabatku.
***
Dua
puluh empat minggu berlalu. Bening bicara padaku tentang event olah raga yang
akan diikutinya. Dia terpaksa izin pada kepala sekolah selama delapan hari. Aku
ikut melobi bersama Bening untuk mendapatkan dispensasi.
“Izin
sepuluh hari? Kami saja yang sudah lama bekerja di sini hanya izin jika cuti
melahirkan. Bening mau senang-senang kok lama sekali. Kenapa enggak
mengundurkan diri saja?” berondongan tanya dari Bu Ivi menghujani pendengaran.
Bening berhenti di depan pintu ruang TU. Berbalik setengah lari.
“Bening
…! Jangan hiraukan ucapannya. Kamu hanya butuh waktu untuk membuktikan
prestasi, itu saja. Aku yakin kamu bisa,” hiburku meyakinkan hatinya. Aku dapat
merasakan tusukan-tusukan pedih dalam bathinnya. Dia membalikkan badan,
memelukku.
“Terima
kasih ya, Lif. Aku enggak tahu bagaimana membalas semua kebaikanmu. Kau
benar-benar menambal kerapuhan jiwaku.
***
Wajah-wajah pegawai TU tertunduk usai upacara
bendera. Bening mempersembahkan medali emas pada sebuah pertandingan olah raga
tingkat nasional. Bu Ivi melangkah ke arahku. Dia mengacungkan jempol tangan
kanannya sambil melingkarkan tangan kiri ke pundakku.
“Hebat!
Aku enggak nyangka. Bening bisa demikian luar biasa. Maafkan kami yang
meragukannya. Yah! Meski pun ini bidang olah raga. Mungkin akan lebih
memperbaiki prasangka kami jika dia juara menulis atau segala hal yang
berhubungan dengan perpustakaan.” Aku memandang Bu Ivi. Hati ini berdesir
mendengar gulungan kalimat yang dijabarkan.
Itu akan dibuktikan
Bening. Perlahan. Balas hatiku tanpa menjawab ucapan Bu
Ivi. Kulihat binar mata Sahabatku mulai bertambah cerah. Pancaran positif
menghiasi merah pipi tanpa blush on.
Dia benar-benar Bening. Sahabatku yang tetap jernih cita pintanya.
#ODOP
#BloggerMuslimahIndonesia
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara