Warna Cerita Anak Baru di Panti Asuhan


foto dari pixabay

Memang banyak anak panti asuhan yang berasal dari daerah lain. Mereka ini biasanya yang orangtuanya kurang mampu (dhuafa). Karena, jika tetap ada di rumah, mereka putus sekolah, atau menikah di usia yang sangat belia. Bukan berarti menolak pernikahan belia itu, panti asuhan membantu mereka agar bersekolah dan bersosialisasi.

Biasanya, ada anak yang awal-awal tidak betah. Ada yang menunjukkan rasa itu dengan ekspresi jelas, ada juga yang menyimpannya. Saya memiliki cerita-cerita yang akan saya bagi tentang anak yang berekspresi lebih ini. Tiga cerita, dan tentu saja saya tidak akan menyebutkan nama asli mereka. Sepaket?

Pertama, anak yang berasal dari NTT. Ini kalau enggak keliru catat, ada empat anak, saat itu. Saya dan suami baru satu tahun ada di sini, sekitar empat tahun lalu. Mereka menangis setiap waktu. Awalnya, anak-anak lain bergantian menghibur. Kalau diibaratkan nih ya, mereka sudah ngomong untuk menumpulkan airmata, eh, masih juga pada nangis.

Akhirnya, saya panggil dua anak yang paling besar di antara mereka. Ternyata, selain merasa asing, mereka juga masih diasingkan. Merasa minder karena kondisi fisik dan kulit yang berbeda. Saya dengarkan semua keluhan mereka, saat itu sampai dua jaman mereka curhat. Saya tidak banyak bicara, kalau dikalkulasi, mereka bicara seratus, saya mendengarkan 95, sisanya baru saya bicara.

Tangisan pun mulai reda. Pulang adalah hal yang tidak mungkin. Mereka tidak banyak memiliki pilihan. Untuk ke depannya, mereka sudah pada lulus D2. Tangisan reda kira-kira setelah satu bulanan. Mereka memang saya izinkan untuk berbicara pada saya kapan saja, meski saya diperingatkan pihak yayasan untuk tidak dekat-dekat/terlalu dekat dengan anak-anak. Saya yakin, saya bukan mendekatkan yang teramat rekat, jadi khusus untuk waktu awal-awal mereka ada di sini.

Oh, ya. Mungkin ada yang bertanya, siapa saya? Saya Ibu Rumah Tangga. Di sini, enam tahun bersama suami membantu panti suhan yatim putri, di daerah Berbah, Sleman, Yogyakarta. Kami bukan pemilik panti (karena dulu, saya kerap dimintai jadi donatur oleh teman-teman dumay, dikiranya saya yang punya panti asuhan, semoga saja jadi doa. Amin).

Kita tinggalkan para tokoh cerita pertama yang tidak betah, kemudian betah tadi. Pindah ke tokoh cerita kedua. Sebut saja namanya Lina. Dia bukan anak yang jauh. rumahnya di daerah Gamping. Hanya beberapa kilo meter saja dari panti asuhan. Ini lebih sadis. Tangisannya keras, dan terus-menerus. Saya pikir, dia dehidrasi saat itu. Sampai suaranya serak. Dan usianya juga lebih sedikit. Wong baru lulus SD.

Ketika ada pengurus lain datang, mereka pasti bertanya, itu anak kenapa?

Tentu saja bukan korban penyiksaan. Satu-satunya penyiksaan yang ada di sini adalah mereka yang menyiksa diri sendiri (maksud saya, karena belum bisa mengatasi masalah tidak betah secara mandiri). Saya juga kadang bertanya-tanya, sebelumnya, apa orangtua atau saudaranya tidak melobi, atau memberi nasihat. Apakah kesepakatan yang sudah mengantar mereka ke sini terpaksa, atau rela?

Jawabannya ternyata ada dua, mereka rela, tapi di sini belum bisa menyesuaikan, atau terpaksa, tapi tidak berani menolak di waktu awal (sebelum sampai panti asuhan). Dan ini baru kami ketahui setelah mereka tetap di sini, atau malah kembali ke rumahnya.

Karena Lina sudah terlampau akut, dan kerap mau pergi sendiri (repot banget kan pas semua orang istirahat, tiba-tiba dia mau kabur, mirip dapat kekerasan saja)? Lalu kami pun mengembalikan Lina pada orangtuanya.

Ketiga, ini anak baru. Baru banget. Rabu, 07 Juni 2017 baru datang. Dia dari daerah di sebelah barat Yogyakarta. Baru sehari ini ya? Dia sudah mulai aneh. Berulangkali pinjam HP untuk telepon orangtua (di sini memang tidak diizinkan membawa HP). Tadi, pas saya sedang berbuka, suami sedang di masjid. Dia berulang salam, saya minum. Dia salam lagi, dan membuka pintu. Nah, ini sudah indikasi luar biasa. Pintu sampai dibuka ini menunjukkan ada yang kurang beres pada diri anak. Entah ada ketidaknyamanan, atau keinginan yang begitu menggebu untuk apa saja, sehingga lupa bahwa membuka pintu setelah salam, bukan lah satu sikap yang terpuji.

Ketika saya ke dapur umum panti. Mbak yang bantu masak agak ribut. Pasalnya beliau menemukan nasi kotak berisi lauk ikan bakar, cap jay, udang goreng, dan telur balado. Menu super komplit dari donatur itu diletakkan di tangga dekat dapur, dan dekat tempat sampah. Ikan bakar baru dicuil sedikit, nasi juga.

“Ini kemarin juga gini, Bu. Ayam masih utuh, dibuang gitu aja,” keluh beliau.

Saya hanya mendengar. Wah, ada saja tingkah anak baru. Padahal, menu makan enak itu biasanya full di bulan Ramadhan. Hari-hari biasa ya makan menu sederhana. Ini menu yang masuk kategori enak saja dicampakkan, gimana pas hari biasa?

Usai tarawih, suami memberi wejangan. Sedikit nasihat untuk menguatkan hati mereka. mengingatkan tujuan orang rumah menitipkan mereka di sini. Semoga saja yang terbaik bagi mereka ke depannya.

Yah. Begitulah cerita singkat yang pernah saya lihat dari warna anak-anak baru di panti asuhan. Ada banyak sekali cerita, dan melengkapi perjalanan hidup kami. Rabbi. Semoga kami adalah orang-orang yang bisa mengambil hikmah dari setiap perstiwa, dan metadaburinya sesuai yang Kau tuntun.

Pondok Cahaya, Yk, 08 Juni 2017


Comments