![]() |
gambar diambil dari pixabay |
Wee twat je zegt, maar
zeg niet alles wat je weet*
Giethoorn**, Belanda.
“Wua …a!”
Dua anak laki-laki berusia sembilan tahun baru saja
meluncur. Mereka dari atas, dan tersungkur di matras hitam selebar kasur tidur karet. Mereka duduk perlahan. Seekor kucing montok berwarna putih
jatuh tepat di atas dada satu anak di antara mereka.
“Bangun, Gizmo!” ucap anak berambut lurus warna
pirang sambil mengguncang pelan. Binatang itu masih diam. Milan mengangkatnya,
meletakan di pinggir matras.
“Kita di mana, Milan?” tanya anak berambut cokelat.
Dia mengerjap-ngerjap, lalu mengarahkan visual ke sekeliling ruangan.
“Aku juga belum tahu. Ke mana perginya tikus itu,
Niek?” Milan meregangkan tangannya. Matanya tertuju pada kertas putih di ujung
kaki kirinya. Dia menekuk lutut, menjulurkan tangan, lalu mengambilnya.
“Ini dia kertas yang di bawa tikus itu. Aku rasa dia
juga ada dalam ruangan ini,” tebak Milan. Niek menggeser duduknya untuk melihat
lebih dekat apa yang dipegang sahabatnya.
“Peta?!” ucap mereka bersamaan. Beberapa jenak
mereka saling tatap, lalu mengamati kertas itu lagi. Tanpa mereka sadari kucing
berbulu putih itu menggeliat, bangun
serta melangkah meninggalkan mereka.
Gizmo mendekati cermin bundar besar di bagian barat.
Cermin itu membuka saat kaki Gizmo menginjak garis merah di lantai. Binatang
menggemaskan itu masuk, cermin kembali ke bentuk semula.
“Gizmo …o!” panggil Milan. Niek ikut memanggilnya. Suara
mereka memantul, seperti bergelombang, menggema memenuhi ruangan. Mereka hanya
bolak-balik dalam ruangan segi empat itu. Ini
mirip gudang! Tapi di mana barang-barang yang biasa di simpan di gudang?
Sahut-sahutan panggilan berhenti ketika mereka yakin
bahwa kucing itu tidak ada dalam ruangan. Niek membuka kaca mata tebalnya.
Milan menyandarkan tubuhnya ke tepian pipa besar, tempat mereka meluncur tadi.
***
Laki-laki berambut pirang duduk di beranda rumah, dia menekuk kaki
kanannya di atas kaki kiri. Dua tangannya menggenggam surat kabar harian.
Seorang pelayan berseragam hijau putih meletakan secangkir minuman, dia
mengangguk lalu meninggalkan tuannya.
Aroma teh berpadu dengan segarnya mint menyapa
hidung Opa Godewyn. Asap mengepul pelan lalu terbang mengikuti embusan angin.
Dia mendekatkan tangan kirinya. Mengamati jam tangan Rolex keluaran terbaru.
Dahinya mengernyit beberapa saat, bergumam lirih pada diri sendiri, Ke mana anak-anak itu?
Laki-laki 50 tahunan itu melipat surat kabar dan
meletakannya di sebelah cangkir. Tangan kanannya mengambil benda mungil terbuat
dari Kristal yang berwarna transparan itu. Setelah mencecap dua kali, dia
menyesap setengahnya. Dibiarkannya cangkir itu dalam genggaman, di atas dua
siku kakinya. Matanya memejam, menikmati aroma yang menenangkan.
Hari sudah
hampir petang, anak-anak belum juga pulang.
Laki-laki berkaus hitam itu meletakan cangkirnya, berdiri sambil meluaskan
pandangan ke empat arah. Hanya tenangnya air kanal yang berkilauan terkena
cahaya matahari sore. Padang rumput hijau, bunga-bunga diam yang menyuguhkan
pesonanya. Tidak ada gerak yang menandakan ada anak-anak bermain.
Ketika Opa Godewyn akan melangkahkan kaki, terdengar
suara mengeong dari samping rumah. Wajah laki-laki itu merona. Itu pasti mereka! Dia bergegas
menghampiri suara binatang cucunya, sayang, Gizmo sendirian! Binatang itu
tampak kelelahan dan sangat lapar.
***
Ada enam
titik dalam denah yang tergambar di atas kertas. Tiap titik memiliki angka dan
keterangan singkat. Dua sahabat itu mengamatinya dengan cermat. Mereka sangat
tertarik untuk mengetahui kebenaran isi denah dengan ruangan ini.
“Kita ada di titik nomor lima, Niek. Setiap benda di
dinding tiap sisi ruang segi empat ini adalah pintu rahasia,” ucap Milan sambil
bergeser ke kiri beberapa langkah.
“Apa kita akan mulai dari lukisan ini?” tanya Niek.
Dia ikut bergeser mendampingi Milan. Cucu Opa Godewyn mengangguk. Mereka
melangkah perlahan. Ketika kaki menginjak pualam berwarna krem, lukisan
membelah dua. Ada suara gemericik air terjun mengiringi pintu rahasia yang
terbuka.
“Cepat masuk, Niek!” pinta Milan menggandeng tangan
anak bermata cokelat. Mereka berpencar di dalam ruangan yang tidak terlalu
lebar. Kalau ini gudang, kenapa
benda-benda di sini tertata rapi?
“Ini mirip museum mini, Milan,” Niek berpendapat.
Dia mengamati guci berukir kepala naga yang berbahan emas. Sepertinya pemilik tempat ini adalah orang kaya. Beberapa souvenir
unik menghiasi rak kayu. Di dekat kotak berwarna merah ada komputer layar
datar. Ini ruang kerja?
Mereka begitu asyik hingga hampir saja bertabrakan
tepat di depan kotak merah. Visual mereka sama-sama menyimpan rasa ingin tahu
yang dalam.
“Sepertinya tidak ada kuncinya, Milan,” ucap Niek
berbisik.
“Kita buka, yuk?” usul Milan. Niek membetulkan letak
kacamatanya lalu mengangguk. Mereka membuka kotak itu bersama-sama. Wajah yang
tadinya berbinar penasaran, berganti dengan bias kecewa.
“Hanya pulpen, kaca mata lipat dan bandul jam! Huh
barang begini kok seperti di istimewakan!” gerutu Milan. Mereka memutuskan
untuk pindah ke tempat lain. Ketika dua meter di depan pintu berupa lukisan, mereka serempak menghentikan
langkah.
“Ini lukisan opamu, Milan,” ucap Niek. Anak yang
diajak bicara menutup mulut dengan dua tangannya. Berarti ruangan ini milik Opa Godewyn?
“Sepertinya opamu lebih kaya dari yang kamu tahu,
Milan,” tebak Niek. Milan hanya mengangkat dua bahunya dua detik. Membuka dua
tapak tangannya seraya berkata, “Entahlah.” Mereka melangkah ke luar ruangan
yang mirip museum mini itu.
“Sekarang kita ke titik nomor tiga!” usul Niek.
Milan menghargai usulan sahabatnya. Mereka berjalan lurus hingga ke depan
lukisan tiga dimensi berbentuk ovale.
“Buku! Itu gambar buku!” Niek merasa girang dan
benar menebak gambar yang ada dalam lukisan. Sekilas, hanya ada kotak-kotak
beraneka warna, namun bila melihatnya secara dalam beberapa saat, ada gambar
membayang dapat terbaca di sana.
“Kamu benar, Niek,” ucap Milan. Mereka melangkah
lebih dekat ke arah lukisan. Ketika ada embusan angin yang timbul dari
kehadiran mereka. Lukisan tiga dimensi itu masuk ke atas, pintu rahasia
selanjutnya telah terbuka.
“Ini perpustakaan, Sobat!” ucap Milan yang lebih
dulu masuk. Niek mengiyakan, sebagai kutu buku dia segera dapat memilah dengan
baik letak buku sesuai nomor klasifikasinya.
“Buku-buku ini tersusun persis dan rapi sesuai nomor
klasifikasi, Milan,” ucap Niek. Ibunya yang seorang pustakawan juga mendukung
pengetahuannya untuk letak bahan pustaka. Ada lap top delapan inci di meja
sudut barat ruangan.
“Ini buku paling penting di ruangan ini,” tebak Niek
yakin. Milan mengambil buku itu dari tangan sahabatnya. Dia membacanya dengan
cepat. Dua bola matanya yang bulat seolah akan melompat. Niek mendekat saat
melihat reaksi wajah karibnya.
“Kita bawa buku ini ke ruangan nomor empat tadi,
Niek. Ini sangat menantang!” ucap Milan mengundang penasaran. Dia langsung
keluar dengan langkah terburu. Sahabatnya mengikuti dengan menyimpan tanya.
***
Matahari benar-benar telah tenggelam. Opa Godewyn keluar
dari kamar mandi berpakaian handuk putih. Semerbak maskulin masih tersisa di
kamar mandi, berpindah mengikuti langkah laki-laki yang masih tampak tegap. Sudah hampir waktunya makan malam, mereka
belum juga pulang.
Suara burung-burung yang pulang ke sangkarnya
menyambut senja. Laki-laki yang tinggal sendirian di rumah berdinding bata
mulai mencemaskan cucu dan sahabatnya. Piirannya mengajak untuk tetap tenang,
namun juga mencari jalan bagaimana menemukan mereka.
“Gizmo, makanlah! Setelah itu kau akan bersamaku
mencari tuanmu dan sahabatnya,” ucap Opa Godewyn pada kucing bermata biru.
Begitu mencium bau amis dari wadah kayu berbentuk mangkuk, binatang itu segera
menghampiri opa tuannya, melahap isinya tanpa sisa.
Opa Godewyn menaikkan Gizmo ke ranjang rotan tanpa
cat. Kucing itu duduk dengan tenang ketika laki-laki bertopi koboi itu
membawanya ke luar rumah. Dia mulai bertanya pada tetangga yang ada di halaman
rumah. Mengharap jawaban dari orang yang baru pulang kerja, siapa tahu bertemu
dengan dua anak laki-laki berpakaian merah yang dicarinya.
“Tadi siang kami melihatnya mengejar kucing ini ke
arah ujung desa,” jawab meneer berambut ikal sebelum masuk rumah.
Kalian ini
menantang Opa berjalan-jalan? Siapa takut! Opa masih kuat.
Laki-laki berambut pirang memakai jaket hitam. Melangkah ke tepi kanal lalu
menyalakan punters, sampan listrik.
Gizmo tampak bersemangat. Malam ini, dia akan menikmati apa yang biasa
dilakukan kucing liar; berjalan-jalan malam.
Gizmo memandangi langit. Beberapa bintang seolah
mengucapkan ‘selamat berpetualang’ padanya. Pohon-pohon tampak hitam membayang.
Embusan angin semilir membelai bulu-bulu lebatnya. Serangga malam Desa
Giethoorn mulai bernyanyi. Gizmo memindahkan pandangan ke kilauan air kanal
yang tersorot lampu punters.
***
Setelah mendapatkan kotak wasiat, dua anak itu
keluar menuju ke utara. Pada tengah dinding titik ke empat itu ada tirai
berkaca bening warna magenta. Milan menekan tombol angka agar bisa membuka
kacanya.
“Wow! Ini seperti tempat santai yang menyenangkan,”
ucap Niek. Milan tidak menggubris kata sahabatnya. Dia fokus pada satu hal.
“Kita bisa
pergi ke masa lalu dengan ini, Niek!” ucap Milan bersemangat.
“Aku tidak tertarik pergi ke masa lalu. Apa kamu
ingin menjadi bayi lagi?” tanya Niek.
“Kalau begitu kita pergi ke masa depan!” tawar Milan.
Niek mengangguk seraya tersenyum. Cucu Opa Godewyn segera mengambil pulpen
emas. Dia menuliskan Desa Giethoorn untuk waktu lima tahun yang akan datang di
papan ajaib.
“Kok tanggung sih, Milan?” tanya Niek.
“Ah jangan terlalu jauh. Aku takut kita lupa
pulang,” jawab Milan
“Kenapa?” Niek kembali bertanya
“Kakek akan kehilangan kleinzoon, cucunya yang paling tampan,” jawab Milan sambil
mengangkat kedua alisnya, dua kali. Mereka tertawa bersama.
“Kita pegang bandul waktu ini bersama. Kaca matanya,
Kau saja yang pakai, Milan,” usul Niek. Dia tidak mau pakai kaca mata dobel.
Dengan itu, Milanlah yang bertanggung jawab memberi tahu posisi mereka nanti di
tahun ini, pada tempat yang akan mereka kunjungi.
“Pejamkan mata dalam tiga hitungan mundur!” pinta
Milan. Niek pun siaga.
***
Desa Giethoorn, 2020. 8:30 pm.
Terdengar suara tangis dari arah pusat desa. Milan
dan Niek berjalan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan suara. Mereka berusaha
mencari sumber suara. Angin berembus membuat bulu kuduk berdiri.
“Moeder, i-bu
di ma-na?” suara itu terdengar makin jelas.
“Ada anak kecil mencari moedernya, Niek,” bisik
Milan.
Mereka mendekat perlahan. Anak itu terkejut, lalu
menangis lagi.
“Siapa nama moedermu?” tanya Niek.
“Fay!” jawab anak itu.
Milan terbelalak. Nama yang diucapkan anak itu, sama
dengan nama moedernya.
“Kenapa kamu bisa di sini? Tanya Milan pada anak
perempuan berambut pirang. Anak itu mengucek-ucek matanya. Menangis lagi.
“Aku pergi dari rumah Opa saat Moeder sedang
membersihkan taman belakang rumah tadi sore,” jawabnya panjang.
“Sudah. Jangan menangis, kami akan mengantarmu
keliling desa untuk mencari rumah opamu,” ucap Milan. anak itu mulai diam.
“Benarkah?” tanyanya ragu. Milan dan Niek mengangguk.
“Kami akan bergantian menggendongmu,” jelas Milan.
Niek terkejut, tapi memang mereka tidak membawa punters.
Mereka berjalan menjauhi pusat desa ke arah selatan.
Sudah dua jembatan mereka lewati, namun
gadis cilik itu terus menggeleng ketika ditanya,”Apa ini rumah opamu?”
Usai jembatan ke tiga. Anak itu menepuk pundak Niek
dan minta turun. Dia berlari kencang sambil meneriakkan nama ibunya. Milan
mencoba melihat wajah ibu anak itu, tapi tak jelas karena lampunya redup. Kalau tidak salah, ini tempat di mana rumah
Opa Godewyn, benar! Itu rumah OPa! Siapa gadis cilik ini? Milan tidak
memberitahu Niek bahwa mereka sekarang berada di sekitar area rumah opanya.
Hanya Milan yang tahu, sebab kaca mata itu dapat melihat posisi sebenarnya pada
tahun mereka pergi.
***
Opa Godewyn menambatkan punters di ujung desa. Dia
melangkah naik sambil membawa Gizmo ke darat. Kalian membuatku lelah, Anak-anak. Laki-laki berkumis itu pun
mendorong benda bulat yang ditumbuhi rimbunan daun. Dia masuk dan meluncur
turun. Opa Godewyn hanya membalikkan badan lalu membiarkan dirinya terbaring di
matras hitam selebar kasur tidurnya. Gizmo seolah mengenali ruangan itu.
Gizmo keluar dari keranjang dan melangkah mendekati
cermin bulat.
HP Opa Godewyn bergetar. Laki-laki itu merogoh saku
celananya, menekuk dua kakinya lalu duduk.
“Hello? Iya – wah selamat! Akan aku beritahu Milan
kalau sudah bangun,” ucapnya menerima telepon.
Opa Godewyn meletakkan topi hitam di atas lantai.
Dia menghempaskan badannya ke atas matras. Indra pendengarannya menangkap suara
dua anak sedang berbincang. Dia langsung berdiri dan mendapati dua anak
laki-lakinya di depan tirai kaca magenta dengan memegang kotak merah beserta
buku panduannya.
“Kembalikan itu ke tempatnya! Kalian tidak boleh
main-main dengan itu semua!” gertak Opa Godewyn serius. Dua anak itu saling
pandang, mereka mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugup di hadapan
pemilik ruangan ini.
“Pulanglah! Besok,
akan vader, ayah akan menjemput,
Milan. Moedermu sedang kurang fit,” ucap Opa Godewyn.
“Sakitkah, Opa?” tanya Milan.
“Dia sedang mengandung calon adikmu! Bantulah moeder
menyelesaikan tugas-tugasnya agar dia tidak terlalu lelah. Mendengar berita dari opanya. Milan teringat
pada gadis cilik yang ditolongnya tadi, dia memiliki moeder bernama Fay. Apakah adikku nanti perempuan. Untuk ke
sekian kalinya, Niek dan Milan saling pandang.
*Setiap kita harus mengetahui dan bertanggung jawab atas semua yang kita
lakukan, namun kita tidak perlu mengatakan semua yang kita ketahui.
**Desa bebas polusi nan asri di Belanda.
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara