![]() |
|
“Mau minum apa?” tanya laki-laki berkacamata
pada dua anak saya.
Belum
terdengar ada jawaban.
Dua
bocah berwajah lelah itu mengamati dua gelas yang berbeda. Satu gelas kaca,
transparan, berisi es cokelat yang tampak menawan. Bulir-bulir embun di bagian
luar gelas seolah menawarkan, “Maukah kau meminumku?” Minuman kedua ada di
dalam gelas, oh, bukan, itu cangkir berwarna hijau di bagian luar, dan hitam
bagian dalamnya. Tangkai teh celup menggelayut, seolah menawarkan hal sama
dengan gelas es cokelat.
Dua
anak saya tampak bingung. Saya tahu, ada yang perlu menjelaskan tentang dua
minuman itu. Yang meski nama aslinya sudah dikenal, tapi karena ada di wadah
yang berbeda, sekaligus ada di tempat lain, mereka perlu mengenalinya, untuk
saat ini.
“Es
cokelat, atau teh hangat?” tawar saya.
“Aku
ini!” tunjuk anak pertama saya.
“Aku
juga yang kayak Kakak!” sambung anak kedua.
Laki-laki
berkacamata yang tak lain adalah teman saya, segera mendekati Mbak
yangrambutnya bermodel mirip Polwan. Dia terlihat sedang berbicara, saya tak
bisa mendengar. Di depan saya, di kursi yang sama dengan laki-laki berkacamata
itu, seorang pemilik penerbit sabar menyambut kami. Seorang berkerudung kuning
memulaskan senyum di samping saya. Kami bersalaman. Sekitar 10 menit, saya
terlambat.
Kami
baru saja melakukan perjalanan memakai ‘Trans Jogja’ untuk pertama kalinya.
Jarak yang bila ditempuh dengan kendaraan pribadi amat sangat dekat, saat itu
memakai waktu hingga tiga jam. Dan dua anak saya sangat menimatinya.
“Kalian
mau duduk di mana?”
“Di
sana!”
Mereka
menunjuk meja belakang kami. Di sana, tempat duduknya lebih longgar. Sementara
di tempat kami, sudah ada empat orang. Saya dan tiga teman lain. Akan sedikit
berdesakan bila dua bocah saya juga ikut berhimpitan untuk duduk. Dan itu
bukanlah hal yang disukai anak-anak. Siapapun tahu itu.
Anak-anak
gampang bosan. Itu pelajaran pertama yang saya dapat, dulu, saat anak pertama
menunjukkan itu. Dia pernah meronta-ronta sambil menunjukkan telujuk,
menginginkan mainan lain, saat belum bisa bicara. Saat itu ucapannya masih
besuara, “Entuh-tuh. Ta-ta-ta-ta. Ahem-hem-hem.” Atau kata lain. Menggemaskan,
bukan?
Saat
kami mulai serius bicara tentang ini-itu, dua anak saya main dengan seorang
anak lain (anak teman saya yang datang beberapa menit sesudah kami sampai).
Mereka tak membutuhkan banyak waktu untuk bermain bersama. Namun, saya mulai
melihat gejala kebosanan di wajah mereka.
Oh,ya.
Kami ada di Cafe Prada. Satu tempat untuk minum yang letaknya persis gandeng
dengan toko buku besar di kota ini. Yogyakarta. Kebetulan, di bagian depan, dan
bisa diintip dari cafe, tertata alat-alat mewarnai. Dari crayon, cat air, dan
pensil warna. Semua adalah hal yang menarik bagi anak-anak. Termasuk dua anak
saya.
“Mi,
aku mau beli pewarna!” rajuknya.
Negosiasi
dengan berbagai mimik pun menghasilkan kesepakatan. Saya izin sebentar untuk
membelikan mereka barang yang diminta. Kami masuk ke toko buku. Dua box crayon
sudah ada di tangan mereka dalam beberapa menit saja. Kami membayar di kasir.
Wajah bosan mereka sudah lenyap. Saat ini, tersisa keceriaan yang khas.
Kami
kembali ke kafe. Melanjutkan diskusi. Beberapa saat sesudahnya, kami sudah
selesai. Mas pemilik penerbit mohon pamit. Kami, maksudnya saya dan tiga teman
lain, ngobrol santai. Kami membicarakan hal-hal ringan, tidak sebatas
kepenulisan. Ada kegiatan anak-anak, keunikan mereka, hingga acara-acara
menarik yang lain.
Pyak!
Sedang
asyik bicara, tiba-tiba box crayon milik anak kedua saya jatuh. Kait penutupnya
pecah. Box tidak bisa ditutup lagi. Dia menangis. Bujukan demi bujukan meluncur
dari bibir ini. Nihil. Dia masih menangis. Teman-teman saya bergantian ikut
membujuk. Belum berhasil.
“Aku
mau beli lagi! Mau beli lagi! Beli lagi!”
Begitu
katanya berulang-ulang.
Tanpa saya duga. Anak pertama saya mengambil box
crayonnya.
“Ini
buat kamu aja, Dek.”
Deg.
Subhanallah.
Saya tak pernah berpikir memintanya untuk memberikan crayon itu.
“Wah,
Kakaknya baik banget. Itu lho, dikasih punya Kakak,” kata teman saya. Dalam
hati, saya mengaminkan kata-katanya.
Alhamdulillah.
***
Orangtua
kerap berharap besar pada anak-anak mereka untuk bisa berbuat hebat. Pintar,
juara, dan kemampuan lain. Kadang, tanpa peduli berapa usia mereka, para
orangtua terus saja menuntut. Padahal, apa yang dilakukan anak sulung dalam
kisah di atas (yang merupakan pengalaman saya), adalah surprise istimewa bagi
orangtua. Setiap anak memiliki hal itu, hanya saja, entah di waktu kapan mereka
akan menunjukkannya. Semakin kita tuntut, mereka kian tertekan, sebaliknya,
jika kita bersikap wajar, maka kejutan manis pun bisa segera bertandang.
Memiliki
cita-cita agar anak-anak hebat tidaklah terlarang. Namun, apakah ambisi kita
sudah sepadan dan selaras dengan usia dan kebutuhan mereka? Ada beberapa hal
yang bisa kita (sebagai orangtua lakukan) untuk bisa mengerem ambisi memiliki
anak super hebat, di antaranya ...
·
Mendukung
Apa yang Menjadi hobinya, dan Tidak Bertentangan dengan Norma.
Kita bisa mendukung
anak untuk rajin latihan sepeda, karena dia maniak sepeda. Tujuannya agar apa
yang dia lakukan lebih terarah. Minimal jadi tahu akan keuntungan, dan juga
bahaya yang mungkin terjadi.
Siapa tahu dari kayuhan
yang kita dukung, dia berkenan masuk klub latihan balap sepeda. Hingga kelak menjadi
pesepeda handal. Kita arahkan saja, tak perlu terlampau cemas dan takut anak
akan cedera dan lainnya. Bukankah untuk menggapai sukses juga harus bertemu
ujian? Naik sepeda juga demikian. Jatuh dan sakit saat lecet adalah bentuk
ujian mereka yang terus mengayuh sepedanya.
·
Tidak
Mendikte Mereka untuk Menjadi Seperti Kita.
Ketika profesi kita
adalah A, dan anak-anak menyukai B, ingin menekuninya, maka kita kurang bijak
jika memaksa. Bukankah kita bisa mengarahkan, tanpa memaksa?
Anak-anak yang terpaksa,
tidak memiliki hati yang leluasa. Mereka akan mematri dalam hati apa-apa yang
dipaksakan. Jika melakukan hal yang di luar kehendak orangtua, mereka bisa jadi
akan sembunyi-sembunyi melakukannya. Dan paksaan hanya akan menjadi tumpukan
pemberontakan dalam hati, yang siap meledak kapanpun. Ngeri, kan?
·
Mendoakan
Lebih Gigih.
Kita, terutama ibu
adalah pemilik doa yang mustajab. Segala yang keluar dari mulut adalah doa.
Kata-kata buruk adalah doa buruk, dan kalimat baik juga merupakan doa baik Dan sering sekali kita lupa akan hal ini.
Apalagi mengomel sudah menjadi camilan harian. Tanpa sadar keluarlah ungkapan-ungkapan yang kurang terpuji untuk
buah hati.
Untuk mengatasi
kebiasaan mengomel ini, memang sangat layak jika memindahkan omelan kita ke
dalam tulisan. Bisa dalam bentuk buku harian, atau bahkan artikel yang kita
kirim ke media. Selain bermanfaat untuk menstabilkan emosi, hal ini juga dapat
dibaca orang lain. Bila mereka mengambil manfaat, kita sudah berbagi manfaat.
Karena mulut ibu adalah
penuh dengan doa, maka mari doakan mereka, anak-anak kita dengan doa yang baik.
Ubah segera kalimat buruk yang berkelebat dalam pikiran, dengan kalimat baik
yang meluncur sebagai ucapan. Tahan. Tahan. Tahan. Kita sedang membentuk
peradaban anak-anak kita, bukan hanya menahan mulut untuk tidak ngedumel. Kita akan memetik hasilnya
kelak, in sya Allah.
·
Memberi
Mereka Kepercayaan.
Ketika
mereka memutuskan melakukan hal baik, beri mereka kepercayaan. Jika pada
akhirnya menghasilkan kebelumberhasilan,
itu adalah proses. Kepercayaan yang kita beri kepada mereka akan membuat
mereka merasa nyaman dan dihargai.
Saat
anak-anak dihargai, mereka akan memiliki konsep diri yang baik. Konsep diri berasal dan berkembang sejalan dengan pertumbuhannya, terutama akibat dari hubungan individu dengan orang lain
(Centi,1993). Yang dimaksud dengan orang lain menurut Calhoun dan Acocella
(1990) adalah orangtua, kawan
sebaya, dan masyarakat.
Tidak ada keberhasilan yang instant, semua membutuhkan
proses, dan menjalani adalah cara meraihnya.
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara