![]() |
Gambar dari sini |
Kepala saya
berdenyut. Tangan masih menggengam HP. Banyak sekali pesan masuk ke wattsap. Dari grup-grup,
sampai personal. Banyak yang mengirim ucapan lebaran dalam bentuk kartu
digital. Saya pilih meletakan benda putih itu, berbaring sejenak sambil
menghela napas. Terlalu lama menatap layar mini, kepala, mata, tangan, pun
leher mengalami ketegangan. Mendadak, saya ingat akan kartu lebaran.
Dulu, sekitar
tahun 2000-an, kartu lebaran biasa dikirimkan via pos. Prose bisa dibaca oleh penerima tergantung jenis pengiriman dan lokasi. Saat ini, cukup klik send, langsung bisa diterima. Tanpa perlu perangko, tanpa menunggu lama.
Super market, toko
biasa, dan pedagang pinggir jalan pun memamerkan dagangan kartu lebaran mereka
yang aneka rupa. Kita bisa memilih sesuai selera, baik model, atau harganya.
Saya termasuk
senang beli kartu lebaran, tapi bukan untuk dikirimkan. Saya menyontek
modelnya, kemudian membuat dengan kertas berbeda, warna berbeda pula. Tentu saja
modelnnya pun saya perbarui. Jadi, tidak sama persis. Nah, kartu ini lah yang
saya kirimkan ke teman-teman nantinya.
Saya juga
mengoleksi kartu lebaran. Sayang, sekarang tak satu pun tersisa barang koleksi
saya itu. Sejak lulus ‘Aliyah (setingkat SMU), saya sering berpindah-pindah
domisili. Saking seringnya, sampai ada yang bilang bahwa saya ini aliran No
Maden. Hehehe.
Persiapan untuk
membuat kartu lebaran, bisa saya lakukan satu bulan sebelum puasa. Jadi, dua
bulan sebelum lebaran itu, ya? Saya juga sudah membeli perangko yang jumlahnya
sama dengan calon kartu yang akan saya buat.
Nama dan alamat
teman-teman menjadi sangat penting. Orang-orang, tepatnya remaja saat itu
memiliki buku alamat. Kartu nama juga menjadi hal yang spesial.
Sekarang,
teknologi telah menggeser kartu lebaran. Saya tidak tahu persis, kapan berkirim
kartu lebaran/ucapan via pos itu sudah tidak marak lagi. Yang jelas, saya
kangen. Kangen sekali dengan aktivitas berkirim dan menerima kartu lebaran.
Hal-hal yang
saya rindukan :
- Masa mendata nama-nama teman yang akan dikirimi kartu lebaran.
- Mencari bahan membuat kartu lebaran.
- Membuat kartu lebaran.
- Mengirimkan ke kantor pos.
- Menunggu kartu lebaran dari teman, nebak-nebak, siapa yang mau kirim, ya?
- Membuka kartu lebaran di depan teman atau keluarga.
- Menceritakan tentang si pengirim.
- Menyimpan kartu lebaran, atau menempelnya di tembok kamar kos-kosan.
- Membuka-buka kartu lebaran saat kangen dengan pengirimnya.
- Menceritakan/saling bercerita dengan teman tentang kartu lebaran yang diterima. Biasanya kami bicara motifnya, warna, model, dan keunikannya.
Ternyata ada 10 hal
yang menyebabkan saya rindu pada kartu lebaran. Yang penting, nasib cinta kita jangan
sampai seperti kartu lebaran, hanya dirindukan kemudian tergantikan dengan yang
kekinian. Hikz.
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara