Karena Silaturahmi Membuka Pintu Rezeki


gambar gratis dari pixabay


Masih banyak yang menganggap rezeki berupa uang, atau materi saja. Padahal, banyak rezeki lain yang kerap diabaikan.

Cerita yang akan saya tulis, adalah kisah nyata seseorang. Mungkin, kita juga sebenarnya sering mengalaminya. Selamat membaca!


Dulu, saya pernah tinggal di rumah seorang simbah. Simbah ini memiliki banyak putra-putri. Total ada 13, kalau tidak salah. Satu di antara putri Simbah itu tinggal di Yogyakarta. Rumahnya tidak jauh dari tempat kami. Kira-kira kurang dari 4 KM. Tapi, saya termasuk jarang mengunjunginya. Pertama, saya belum berani ke sana memakai motor, dengan dua anak yang mudah mengantuk bila dibelai angin. Kedua, suami sibuk banget, berangkat pagi dan pulang sore. Capek. Kalau mau disebutin sih ya, yang namanya alasan tentu ada saja. Hahahaha.

Sudah lama, saya berencana silaturahmi ke rumahnya. Bahkan, saya sudah menyiapkan beberapa bahan makanan mentah, dari jauh-jauh hari. Bahan makanan itu kami terima dari yayasan tempat suami mengabdi. Setiap awal, dan mendekati akhir bulan. Biasanya sampai menumpuk, lalu kami bagi-bagi dengan siapa saja. Apalagi gula pasir, utuh, karena ¼ kg gula pasir saja di tempat tinggal kami baru habis setelah dua atau tiga bulan. Bahkan kadang sampai lengket. Karena kami sangat jarang mengonsumsinya.

“Ayo lah, Yang, kita ke rumah Mbak Yaya!” pinta saya pada suami.

“Besok, ya?” jawabnya sekaligus meminta pertimbangan.

Hal yang sama diulang lagi besoknya.

Besok.

Dan besok lagi.

Sampai tiba bulan puasa.

Pagi, sekitar pukul delapan pagi, kami berangkat ke rumah Mbak Yaya. Sebelum belok ke gang rumahnya, ada pasar. Di pasar tersebut lah biasanya saya membeli sayuran. Karena melewatinya, suami pun menawarkan satu hal, “Pie, mau ke pasar dulu. Belanja sayur?”

Sebelum menjawab pertanyaan suami. Saya beritahu bahwa sudah agak lama, sebelum hari itu, ya, mungkin satu tahun atau lebih, saya tidak terlampau memusingkan uang belanja. Saya selalu yakin, dan keyakinan itu memang terbukti, setiap kali habis, selama untuk makan, tidak perlu risau. In sya Allah ada rezeki yang diberikan-Nya. Bentuk dan jumlahnya, terserah DIA.

Aneh, ya?

“Enggak. Uang sudah habis kemarin, untuk membeli keperluan anak-anak panti asuhan (detailnya disimpan),” jawab saya sambil menjeda bacaan Al-Quran.


Tanpa menjawab, suami melaju bersama kami menuju rumah Mbak Yaya. Deru mobil tua yang kami naiki terdengar keras, karena jalanan yang tidak terlampau ramai. Entah melamun, atau memang sudah lama tidak ke sana, suami sampai bablas nyetirnya. Karena mobil berhenti, dan berbalik, saya tahu kami ‘kebablasen’. Melewati gang yang akan masuk ke rumah Mbak Yaya.

Saya juga tidak bicara apa-apa lagi. Yang jelas, saya sudah pernah bilang pada suami, saya tidak akan mengeluh, tapi, jika memang tidak ada yang dimasak, saya tidak akan masak. Dari situ nanti suami bertanya, dan tahu kondisi kami. Hehe.

Kami pun sampai di halaman rumah Mbak Yaya. Dua menit setelah salam, Mbak Yaya membukakan pintu. Saya meminta anak sulung kami untuk mengambil oleh-oleh dari mobil. Oh ya, mobil tua yang kami naiki itu bukan lah mobil kami. Tapi mobil inventaris, sedekah dari dermawan ke yayasan tempat suami mengabdi.
Kami bertukar cerita apa saja. Sebagai anak sulung, Mbak Yaya sudah saya anggap selayaknya kakak. Kan tidak punya kakak. Bisa manja dan lainnya pada Mbak Yaya. Wehehehe. Bukan gitu juga sih.
Simbah, dulu juga sayang pada saya serupa sayang pada anak beliau sendiri. Saya begini adalah karena tempaan secara tidak langsung dari ayah Mbak Yaya; Simbah. Jadi, selama hampir 16 tahun, apa yang ditanamkan Simbah baru saya sadari buahnya. Simbah mengajarkan silaturahmi. Dulu, tanpa melihat seberapa jauh rumah yang akan dikunjungi. Tanpa melihat, berapa banyak uang yang Simbah miliki. Begitu ada niat, sempat, ya pergi silaturahmi. Meskipun pertemuan itu hanya 15 menit. Hmm ... saat itu belum marak HP lah ya? Jadi untuk berkomunikasi memang Simbah senang datang dan bertemu langsung.

Oke. Kami juga tidak terlalu lama di rumah Mbak Yaya. Kami segera pamit. Siapa tahu Mbak Yaya belum menyelesaikan PR nya sebagai Ibu Rumah Tangga. Kami saling bersalaman dan berpelukan. Anak pertama saya malah sedang entah kenapa, enggak mau salim. Anak kedua saya sebenarnya masih asyik main mobil-mobilan yang dibawanya dari tempat tinggal kami.

Ketika kami sudah naik ke mobil, Mbak Yaya mengulurkan sesuatu. Sejumlah uang pada anak-anak kami. Mereka sudah tahu, bahwa uang yang bagi mereka banyak itu harus dititipkan pada saya. Bahkan, mereka kerap berpesan bahwa uang tersebut untuk beli sayuran atau buah-buahan.

O-ow.

Tentu saja kami mengucap hamdalah. Ketika anak sulung saya mengulurkan uang sangunya sambil bilang, “Ini untuk beli sayuran.” Saya merasa lega.
Saya datang tanpa mengharap dapat ‘sangu’. Sebab lama sudah tidak bertemu, dan kangen. Kami tidak jadi kehabisan uang belanja. Saya menambah bilangan dzikir. Ternyata, baru datang saja kami dibalas langsung. Dan apa yang datang sesudahnya jauh lebih banyak. Kami tak dapang menghitungnya.

Semoga Mbak Yaya dibalas berlipat. Segera diijabah permohonan terdalamnya. Amin.

Pondok Cahaya, Yk, 29 Mei 2017



Comments