![]() |
Sumber |
Langitku…
Tangan ini ngilu,
jemari kaku ketika tulisan tentang harapanku tiba-tiba menyemut lalu kabur
bersama warnamu yang berubah tadi sore ketika senja berlalu. Inilah penawar
gemuruh jiwa yang melanda hampa diantara rintihan dalam do’a dan cibiran mereka
yang tak tahu apa-apa, tentangku, juga kriteria pendamping hidupku.
Langitku…
Bukan padamu aku
meminta, tapi pada yang membentangkanmu di angkasa serta menggenggam jiwa-jiwa
nestapa dalam lara, Berbalur airmata dalam nada yang tak terputus.
Terus-menerus.
Langitku…
Kemarin adalah hari
ketujuh usiaku lebih dari dua puluh Sembilan tahun. Rasanya bulan-bulan
mendekati usia tiga puluh tahun itu berjalan begitu cepat, terburu-buru, tak
pernah berpaling menunggu.
***
Tiba-tiba mendung datang dari arah selatan dihantar angin
yang perlahan merubah langit menjadi kelabu.
Langitku…
Aku tidak minta
laki-laki kaya, karena belum tentu harta dapat membahagiakan jiwa. Aku juga
belum siap hidup bersama laki-laki miskin, karena kemelaratan dapat menyeret
pada kekafiran. Aku tidak memesan sosok tampan rupawan, sebab jika ajal
menjeput semua yang menempel di raga sirna. Namun aku rasanya berfikir juga
jika harus bersanding dengan orang yang buruk rupa. Ah! Bagaimana?
Langitku…
Satu… Ternyata bukan
jodohku. Aku merasa terhempas dalam sendu, setelah sebuah peristiwa yang
mengantarkan kami pada tepuk sebelah tangan itu, bahkan raga ini rapuh bertahan
hingga sakit menyapa beberapa hari yang lalu. Mudah-mudahan Alloh mengampuniku dan
segera mempertemukan dia dengan seorang yang lebih baik dariku.
***
Tiga gumpalan awan bergulung ke utara tepat ketika ada serombongan
burung pulang kearah timur. Saat awan
itu menaungi burung-burung tepat melintas di atas pandangan. Pemandangan alam
itu seperti tiga lembar lukisan dalam
mimpi. indah sekali. Lukisan pertama sebagai back ground yaitu langit,
kedua gumpalan awan dan kemudian burung-burung. Warnanya aduhai seru.
Langitku…
Dua… Kenapa ya?
Yang ini ternyata bukan jodohku juga. Ya ampun. Sebenarnya malu, seperti gadis
yang tak laku. Tapi, tenang! Tenang dulu, lenganku masih sakit ni dicubit,
nafasku masih menyatu dengan raga. Tidak boleh putus asa. Sia-sia.
***
Malam bertabur bintang ketika langit berwarna hitam,
malam dan langit… kelam. Kutatap kedipan bintang dari celah yang ada di jendela
kamar, lenganku sedeku di atas lutut yang kutekuk, duduk.
Langitku…
Tiga… Aneh ya?
Ada yang datang dengan kekonyolannya juga, sehingga pertahanan tawa terguncang.
Hahaha.
“Aku mau jadi istrinya andai aku belum menikah”demikian
katanya. Seorang yang sudah beranak istri dengan kelakarnya. Biarlah dia
bertutur sedikit kurang wajar, hatiku tidak boleh tersulut wajahku tidak boleh
cemberut. Biar saja hingga bosan yang menegurnya untuk berhenti sendiri. Aku
hanya akan menikah, bukan melukai hati sesama wanita.
***
Pagi menjemput lamunan, aku berjalan dengan langkah
tertahan ketika seorang anak laki-laki tanpa baju yang usianya kira-kira empat
tahun, dia melempar seekor cacing ke tengah jalan, cacing itu kemudian menggeliat
lalu mata kututup dengan tangan , berpaling mencari jalan alternatif lain
ke arah tempat yang lebih aman.
Langitku…
Saat aku menangis
kenapa kau juga gerimis? Apakah kau berduka juga karena aku belum bertemu
jodohku? Tidak! Aku iri padamu, gerimis yang kau payungi itu sedang mengajakmu
panjatkan puja dan puji pada Illahi.
Satu, dua, tiga… dan entah sampai berapa angka
akan berbilang untuk mengenalkan hatiku pada kondisi pasrah, seutuhnya.
Menerima segala konsekwensi sebagai hamba yang menanti jawab sebait do’a.
Langitku…
Bantu aku menyampaikan
lembaran ini pada Illahi agar Dia berkenan memberi garansi Sholih dan juga
stempel Taqwa bermaterai Ridlo-Nya sehingga ikhlas bukan sekedar rela dan juga
bukan suatu yang berat untuk kusangga.
Diambil dari buku harian saya. Ini adalah gambaran rasa, saat saya belum menikah
saat jomblo itu emang rame banget rasanya ya, Mba. Apa aja tanyain, digalauin, disebelin, disesalin.
ReplyDeleteAlhamdulillaah sekarang dah ga jomblo.
Halal.
Hahahaha. Iya. Super nano-nano pokoknya.
Delete