![]() |
gambar dari pixabay |
Apa kabar Ramadhan ke-11?
Sudah bolong
berapa? Ada yang tambah lemas?
Apapun
kondisinya, semoga tetap semangat, ya ...
Kali ini saya
akan menulis tentang pengalaman masa kecil. Geli, malu, dan gimana gitu kalau
ingat masa kecil. Eh, mungkin ada yang tanya, itu kok ada nomornya sih?
Hehe. Ini sekalian, ya? Saya melanjutkan tantangan Adik untuk menulis cerita masa kecil. Mohon maaf, cerita satu sampai tiga bisa di baca di sini, sebelah sini, dan ini.
.
.
Apa kau sudah
bisa berenang? Jika kau bertanya padaku, aku tidak bisa hanya mengatakan sudah,
atau belum. Ada percik-percik emosi masa kecil yang tumbuh, saat ada yang
bertanya, atau membicarakan semua hal yang berhubungan dengan renang. Bahkan,
aku ingin membawamu ke satu masa, di mana hal itu adalah awal dari ketakutan
yang membekas hingga saat ini.
Penduduk Desa
Tegalsari akrab sekali dengan sungai. Bahkan anak-anak kecilnya. Mereka bebas
dengan atau tanpa baju, berenang ke sana-kemari tanpa ada rasa takut. Saat cuaca
hujan, atau tidak. Ketika airnya jernih, atau keruh.
Aku bahkan punya
teman bernama Yati. Nama yang kusingkat dari nama aslinya. Dia rumahnya dekat
dengan irigasi. Nah, ada sier—semacam sungai kecil (irigasi), yang lebarnya tidak mencapi
dua meter. Di sier itulah dia kerap berenang. Baik hanya untuk bermain, atau
mencari ikan tanpa menggunakan alat. Kami menyebut aktivitas itu dengan ‘rogoh’.
Kau cukup menyelam, meraba-raba, dan menangkap ikan dengan feelingmu. Tapi,
jangan sampai salah tangkap. Bisa-bisa, kau pikir itu ikan sidat, ternyata ular
yang sedang jalan-jalan di dalam air. Gunakan naluri alami, dan semakin sering
kau melakukannya, kau semakin ahli mengangkap hasil rabaanmu.
Keburan.
Begitu mereka,
kami menyebutnya. Kata lain dari berenang. Jika kau sama-sama ada di desa, dan
hidup di wilayah Jawa Tengah, sangat mungkin tidak akan kesulitan memahami
bahasaku. Mohon maaf bila kau berasal dari tempat lain, hal yang membingungkan
bisa tanya di kolom komentar.
Aku pernah
tenggelam di air dangkal.
Tolong jangan
kau tertawa begitu. Simpan dulu senyummu yang membuatku semakin malu. Ah, tapi
rasanya akan lebih nyaman jika aku simpan sebentar juga rasa malu ini. Toh kita
akan bersama-sama menyimak kenangan. Sepakat?
Hari itu, aku
ikut bapak menjala ikan. Suara jala gemerincing karena bagian bawahnya banyak
cincin yang jika beradu menimbulkan suara. Aku bukan anak yang sering ikut
Bapak menjala. Adikku sangat sering. Dan hari, itu, kami tidak terlalu
jauh mencari ikan, tapi bisa dapat banyak.
Perlu kau tahu,
saat itu, orang-orang belum terindikasi nafsu serakah. Belum ada yang memortas,
atau meracun ikan agar mabuk, baru menangkapnya. Ikan sungai sangat banyak,
asal mau bergerak mencari, kau bisa mendapatkan ikan yang kau inginkan. Ada kating,
bogo, tawes, mujaer, licing, yuyu, udang, dan lainnya.
Ikan bogo atau kuthuk, masa itu sangat banyak.
Sekarang, di Yogyakarta harga perkilogramnya mencapai lima puluh ribu. Dulu, di
masa aku kecil, kau tahu? Semua gratis. Tidak hanya satu kilo, bahkan Bapak
bisa menangkapnya sampai lima kilo. Ikannnya juga besar-besar. Ada yang
mencapai besarnya seukuran paha anak enam tahun. Tentu saja bukan anak
obessitas yang kumaksud.
Bapak melempar
jalanya. Aku ada di belakang beliau. Awalnya aku hanya melihat-lihat
pemandangan pinggir sungai. Rumput liar, dan pohon-pohon bambu yang meliuk
tertiup angin. lalu pindah ke orang-orang timur sungai yang naik-turun tanggul.
Mereka menuju belik. Mencuci, mandi, atau mengambil air. Ahya, kau harus tahu. Saat
itu sungai masih jernih airnya. Jauh lebih jernih dari air sumur milik penduduk
desa. Tapi, sekarang kebalikannya. Air sungai, jauh lebih keruh dari air
sumurnya. Mungkin memang kau perlu ke sana untuk bisa melihat kondisi
terkininya.
Aku mulai
melihat batu-batu dari tempatku berdiri.
Wah, asyik banget kalau ambil batu-batu itu. Bagus-bagus, pikirku. Warnanya
juga beraneka. Seberaneka bentuknya. Mulailah tangan mungilku mengambilnya satu
per satu. aku bergeser, dan mulai menjauh dari Bapak. Padahal, sebelumnya Bapak
suadh berpesan, “Jangan jauh-jauh dari Bapak!”
Aku menginjak
batu licin. Dan blup! Terpelanting ke dalam air. Hingga meminum beberapa teguk
dari mulut serta hidung. Wah, rasanya enggak enak banget. Dan kau tahu? Airnya itu dangkaaal banget. Di bawah lututku yang saat itu berusia 7 tahun.
“Tuuul! Koe
nangdi siiih?” tanya Bapak dengan suara agak cemas. Aah. Tentu kau tahu kan
maksud agak cemas, meski aku tak melihatnya. Nada suara Bapak bisa kuhapal
dengan baik. Sama seperti kau mengenali suara ayahmu.
Tul itu memang
panggilan kecilku. Orang-orang rumah memanggilku Atul. Karena di kata Khulatul
(nama asliku) ada ‘Atul’. Nama yang terus berganti panggilannya sesuai orang
yang kutemui. Asal jangan jadi Abdul saja.
Aku megap-megap.
Bapak menoleh. Melihatku basah kuyup, beliau malah tanya, “Malah main air!”
Hahaha. Bapak enggak
tahu kalau aku baru saja tenggelam. Aku mau cerita, tapi beliau sudah fokus
lagi melemparkan jalanya. Itu lah peristiwa yang membuatku takut pada air. Aku tidak
terbuka pada orangtuku akan ketakutanku, dan orangtua tidak menangkap
ketakutanku. Jadinya, sampai saat itu rasa itu belum takluk juga.
Apa ... kau juga
memiliki rasa takut akan hal tertentu, yang bila ketakutan itu ditaklukkan akan
membuka potensi keahlian tertentu? Saranku, katakan dan lawan saja langsung,
agar kau tidak sepertiku. Takut tanpa ada yang tahu.
Sekarang, aku
sering mendapati anak-anakku takut melakukan sesuatu. Karena aku mengamatinya,
aku biasanya langsung bertanya akan perasaannya, lalu mendorongnya untuk
mencoba. Aku katakan, bahwa sebelum mencoba, kita tidak tahu bagaimana
hasilnya.
Yuk ikutan #NulisRandom2017 bareng Nulis Buku.
Catatan : Karena saya belajar memasukkan unsur inspiratif, jadi dalam tantangan 30 Hari Menulis ini bahasa menyesuaikan. Semoga lancar. Terima kasih.
Pondok Cahaya, 07 Juni 2017
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara