Kenal Rangga yang di film Ada Apa dengan Cinta? Tahu apa belum, siapa pemuisi yang terlibat dalam puisi-puisinya di film kedua? Kayla baru bertemu dalam acara #KampusFiksi Emas di Den Nanny Resto, 24 April 2016. Siapa sih penulis puisi-puisi Rangga yang 'wah' itu? Kayla akan sedikit bercerita tentang seorang bernama M Aan Mansyur.
Dari kacamatanya, Kayla menebak,
laki-laki langsing itu penggila buku. Meski memang tidak menjadi jaminan bahwa
orang memakai kacamata demikian. Aura yang memendar mengingatkan pekerjaan
Kayla lima tahun silam. Pustakawan. Dan memang benar, sosok M Aan Mansyur
adalah seorang pustakawan. Tapi, dia bilang, membaca itu bukan hal
menyenangkan. Itu hal susah, makanya banyak orang enggan membaca. Nah, lo!
Sebelumnya, ijinkan Kayla menulis
apa yang tertangkap. Baik rekaman mata, hati, pikiran atau rasa. Jadi, jika
tiba-tiba kompas pembicaraan melompat, anggap saja itu euvoria yang sedikit kampungan dalam mengungkapkan
bahagia.
Sejak kecil, penulis Buku Melihat Api Bekerja itu takut
bertemu orang dalam jumlah banyak. Apalagi seriuh acara #KampusFiksi Emas yang
undangannya 400 orang. Belum tambahan peserta lain. Mas Aan (panggil saja
demikian) memilih ‘sendiri’, jika ada acara keluarga, dia menjadi satu anak
yang benar-benar sendiri. Pada kakeknya lah dia berani bicara. Sang Kakek
seorang pembaca yang baik. Namun, buku-buku bacaannya tentu bukan untuk usia
Mas Aan kecil (kelas 2 SD-an) Kebiasaan anak, meniru, agaknya terjadi pula pada
penulis kita kali itu. Dia membaca buku-buku HAMKA, Majalah Panji Masyarakat,
dan Trubus.
Hal unik pernah terjadi ketika Mas Aan tidur di ranjang adiknya yang
sedang menjadi pengantin.
“Lho,
kenapa ada laki-laki tidur di sini. Siapa dia?”
Kayla
merasa geli-geli aneh. Lucu juga ya kalau ada laki-laki lain tidur di ranjang
pengantin, dan bukan pengantin laki-laki? Untung saja ibunya menjawab, “Dia
anak saya. Anak sulung saya.”
Saking
takutnya bertemu orang, sampai sedemikian ekseklusif dan orang menganggap bahwa
ibu Mas Aan hanya memiliki dua orang anak, padahal tiga. Ckckck.
Ketika
ditanya tentang proses kreatif, hingga bisa menjadi Pemuisi dan penulis, dia
tersenyum. Dan cerita masa kecil itu yang terlontar. Laki-laki yang kerap
menghibahkan buku yang sudah dibaca ini juga menulis prosa, sebelum akhirnya
bergelut dengan puisi. Cerpen-cerpennya pernah dimuat Majalah Ceria. (Dan Kayla
tersenyum, menebak, mungkin dia seangkatan Kayla? Secara, majalah itu sekarang
sudah ditelan masa). Mas Aan memang merahasiakan kapan terlahir, jika Anda
penasaran akut, boleh lah mencari informasi. Siapa tahu memang sedang menulis
tulisan sedikit serius, dan butuh data real untuk informasi. Kalau Kayla? Kayla
dan mungkin kebanyakan dari kita ketika menkmati tulisan, tidak terlalu
memusingkan berapa usia penulis atau lahir kapan. Ih, ini mungkin Kayla saja,
ya? Jika memang tahu, itu ya bonus. Mungkin karena masa-masa ‘pingin tahu akut’
di diri Kayla mulai malu dengan usia.
“Menulis lah sampai seolah semua
kata mau habis, tapi jangan sampai habis. Nanti gaya menulis yang akan
menemukanmu.”
Beberapa
jenak, Kayla merekam kalimat itu, dan mengingat-ingat, apa yang sudah Kayla
lakukan selama ini? Seringkali bersembunyi di balik alibi lelah, ngantuk, sibuk
dan alasan lain. OMG.
Selanjutnya, laki-laki Bugis ini
juga mengaku belajar dari tukang jahit dalam menulis. Apa hubungannya? Ibunya
adalah seorang penjahit, untuk membuat pola, beliau lebih sering membesarkan
ukuran, sehingga ketika kurang kecil, bisa dikecilkan. Akan lebih jelek jika
pola kekecilan, dan harus menambalnya. Begitu lah saat menulis naskah, Mas Aan
menulis tiga kali lipat jumlah karakternya dari ketentuan maksimal media. Saat
mengedit, akan lebih mudah membuang, mengurangi kata daripada menambah yang
baru. Jadi, Kayla perlu juga belajar pada tukang jahit. La wong kalau nulis
empat halaman malah membuat tiga
halaman. Memilih menambahkan (menambal) daripada mengecilkan. Tapi, pernah juga
sih mengurangi jumlah kata yang lebih. Dan memang, kita, eh, Kayla ternyata
sering memakai kalimat kurang efektif dalam menulis, sehingga pada waktu dibaca
ulang bisa diubah atau dipangkas menjadi lebih pendek.
“Kalau kamu punya motor dan mau jadi
penulis beneran. Jual tuh motor!”
Ini terdengar seperti guyonan.
Lelucon, tapi jangan dulu tertawa. Seseorang yang tidak dapat menulis deskripsi
dengan baik, biasanya dia kurang jalan kaki. Lebih memilih mengikuti trend
serba cepat, sehingga berimbas kepada menulis yang ingin cepat-cepat. Seperti
banyak orang juga lebih memilih mengikuti kemajuan teknologi dengan cepat,
padahal jika dia mau lebih lambat, lensa akan menangkap pemandangan dan
menyimpan dalam memori dengan lebih detail. Sehingga pada saat mendeskripsikan
sesuatu bisa detail dan berhasil.
Dalam selorohnya, Mas Aan tertawa
renyah sambil berkata, “Kalau 400 orang yang di sini menjual motornya, bisa
mengurangi kemacetan Jogja.” Kayla pun ikut tertawa. Antara membenarkan, dan
berpikir dengan cara berbeda. Benar-benar sesederhana itu?
Beberapa catatan yang Kayla dapat
setelah bertemu M Aan Mansyur adalah :
- Jarang sekali orang
bercita-cita menjadi pembaca, kebanyakan mereka bercita-cita menjadi penulis.
Padahal, untuk menjadi penulis harus menjadi pembaca terlebh dahulu.
- Tidak usah pusing
dengan gaya bahasa, menulis lah terus sampai kata-kata mau habis, tapi jangan
biarkan sampai habis, gaya menulis yang
akan menemukanmu.
- Jika masih kurang bisa
detail dalam mendeskripsikan satu hal, coba berjalan kaki lah. Dalam kelambatan
berjalan, bisa memperoleh pikiran mendalam.
- Belajar lah menulis
dari tukang jahit, membuat pola lebih besar agar jika kurang kecil, bisa
memangkasnya. Dalam menulis, lebih baik menulis jumlah karakter lebih banyak, daripada kurang, sehingga pada waktu mengedit
akan mengurangi atau memangkas kata, bukan menambalnya. Sesuatu yang ditambal
seringkali terlihat kurang baik.
- Belajar lah menulis
dari tukang batu, untuk membangun rumah yang kokoh, dia harus rela menyusun
batu bata satu per satu. Jika sati ruas saja dilompati, rumah bisa rapuh.
Tulisan juga demikian, jika dibangun dengan dasar yang kuat, tulisan akan kuat.
-
Seorang yang membaca
buku, membaca, dan membaca lagi, maka dia semakin tahu jika dirinya bodoh.
Sebaliknya, orang yang tidak mau membaca, maka dia memilih untuk tidak mau
memahami bahwa dirinya bodoh.
-
Mas Aan Mansyur ini masih
jomblo, dan berkualitas. Jika ada yang mau ... (teruskan sendiri J
).
- Dan catatan terakhir dari Kayla pribadi,
sebagai pengingat adalah ... setiap orang juga memiliki gaya sendiri, kadang,
gaya orang lain belum tentu pas untuk kita. Kebanyakan gaya membuat bingung,
dan menjadi diri sendiri itu lebih baik. Mengetahui model atau gaya belajar
orang juga bisa menjadi referensi.
Terima
kasih sudah membaca coretan Kayla. Itu tadi sekilas tentang Mas aan Mansyur, sosok
puitis dalam puisi-puisi Rangga di AADC 2. Oh, ya. Sejak sekarang, Kayla akan
mengganti kata Saya atau Aku menjadi Kayla. Ada deh alasannya.
Kecuali untuk narasi bercerita yang berupa kisah inspiratif atau fiksi, Kayla
akan tetap memakai kata Aku, jika
memakai kata ganti orang pertama.
pernah baca ttg Mas Aan ini di koran, ternyata wong DIJ... asyik bgt itu acara yaa, hikxz, super iri
ReplyDeleteBertanya2 jg mengapa itu Kayla-kayla-an, ohh di bawah ada penjelasannya, walo tetep rhs, jadinya ttp gak jelas jg, heheu, #PwissAh :D
DIJ itu mana? Makassar dia.
DeleteIya. Boleh tahu kok alasannya via japri. 😉
eh, salah baca ya, heeee. Pedah mah kemarin bc premierny d DIJ ...
Deleteinbox-kan atuh Kakak ...
Itu si Tika katanya datang ke xxI, enggak bisa masuk. Ramai banget.
Deleteohh marilah berjalan kakii
ReplyDeleteMariii
ReplyDeleteMendadak memanggil diri sendiri ya Mbak Kay. Padahal biasanya pake aku atau saya. Wah malah penasaran sama alasannya hheh :D
ReplyDeletePada fokus ke ending. Hahaha. Gakpapa deh.
ReplyDeletemajalah Ceria?? ketemu ceri cepi dong.. wah seangkatan kita, ya, hihi
ReplyDeleteHihihi. Iya tuh, Mbak Dini. 😊
Delete