DokPrib |
Di tepi sawah, ada sebuah warung sayuran berdinding bambu. Selain sayuran mentah, ada Soto juga gorengan sebagai barang dagangannya. Suatu waktu, saya pernah merasa bahwa harga sayuran terlalu mahal.
"Kok mahal, Bu. Apa sedang naik harganya?"
"Mboten, harganya memang segitu."
Saya tahu persis harga sayuran yang saya maksud bila membelinya di pasar. Iya sih, warung kan pasti ambil untung, tapi kok banyak juga. Karena butuh, saya tetap membelinya. Dalam hati masih belum nyaman. Istighfar segera saya susulkan agar pikiran tidak mengusiknya secara berkelanjutan.
***
Bilangan jam menggulung waktu. Kejadian demi kejadian mewarnai kanvas hidup. Bila waktu itu hati komplen tentang harga sayuran. Maka di sebuah siang , sepulang menjemput anak sulung dari sekolah, saya mencari-cari HP. Beda cerita memang.
"Kakak simpan di mana HP Ummi?"
"Kan Ummi sediri yang nyimpan."
Jawaban itu biasanya diucapkan Maisan (anak saya 4 tahun lebih) bila dia benar-benar tidak merasa mengambil dan bermain dengan HP saya. Duh, apa mungkin dibuat mainan adiknya, ya?
"Ayo bantuin Ummi nyari dong. Mau telepon Yang Uti nih," pinta saya sambil terus mencari.
Sudah 15 menit mencari. Hasilnya belum juga membuat simpul senyum tertarik.
Sorenya, kami pergi ke warung yang di tepi sawah. Pikiran saya masih tertuju pada HP yang belum ketemu. Saya asyik memilih sop-sopan, tahu, dan lombok ijo. Anak-anak mengambil beberapa potong kue basah.
"Ini HP Ibu?" tanya bapak penjual sayuran.
"Iya, benar, Pak."
"Kemarin tertinggal di meja," lanjut istrinya.
"Wah, terima kasih, Pak. Saya pikir HP dibuat mainan anak-anak."
Saya memilih sayuran tanpa bertanya lagi berapa harganya. Saya ambil sesuai kebutuhan. Soal mahal atau tidak, saya rasa mereka tidak akan berbohong. Kejujuran mengambil, dan menyimpan HP saya sudah cukup sebagai bukti.
Dan di lain waktu, tas punggung saya yang dipakai anak juga pernah tertinggal. Suami menyayangkan keteledoran saya, karena tas itu harganya lumayan. Pemilik warung di tepi sawah itu juga lah yang menemukan,menyimpan, dan mengembalikan pada saya.
Astaghfirullah ...
Tidak pantas saya menyematkan sangka tentang harga sayuran yang membuat hati jadi kurang jernih.
Saya pun jadi ingat ini :
Saya pun jadi ingat ini :
"Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian
tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain." (Q.S Al-Hujurat: 12)
subhanalloh. memang benar bgitu ya mbak. kadang kita suka suuzhon duluan. buntutnya malu sendiri. tfs mbak.
ReplyDeleteIya, Bu Damarojat. Waktu nyesel enggak habis-habis. Menjadi lebih hati-hati saat berdialog dengan hati.
DeleteNahlho...
ReplyDeleteAlhamdulillah ketemu yah
Iya ...
ReplyDeleteAlhamdulillaah.
Manusia langka
ReplyDeleteBenar-benar langka ...
Deletesubhanallah...antara penulis dan yang ditulis benar-benar mempunyai hati yang luas...
ReplyDeletepe er buat saya yang selalu berburuk sangka pada sesuatu yang belum nyata...
sebelum mengomentari ini saya masih terpaku mengulangi untaian kalimat yang bak puisi...hihihi... "bilangan jam menggulung waktu..." wowww...
Penulisnya masih belajar, yang ditulis adalah guru yang tak perlu saya bayar ...
DeleteTerima kasih, ya, Mbak ...
penjual sayurnya untungnya jujur ya... Alhamdulillah
ReplyDeleteIya, Mbak Santi Dewi. Alhamdulillaah
DeleteYa Allah... merasa disindir oleh aksara krn memiliki kejadian yg mirip...
ReplyDeleteAstagfirullah...
Terimakasih atas muhasabahnya bunda keyla
Mudah-mudahan kita menjadi lebih baik. Aamiin
Delete