Menulis dan Memasak


Sebagai Ibu Rumah Tangga yang sedang belajar menulis, saya sering  mengait-kaitkan suatu hal dengan menulis. Terutama sekali hal-hal yang memang saya jalani dalam kehidupan sehari-hari. Ini saya gunakan untuk memompa motivasi dari dalam diri sendiri. Apalah artinya seribu motivasi dari luar, sedangkan dalam diri malah mlempem?

Kali ini saya menghubungkan antara menulis dengan memasak. Jika ditilik sekilas, kata memasak terbaca mudah. Maka artinya menulis itu mudah. Ini baru sekilas. Seringkali pengamatan sekilas akan menjebak saya pada persepsi yang berubah sesuai bertambahnya intensitas pengamatan. 
Start ...
Saya menyukai satu menu bernama soto. Saya tahu di mana penjual yang sotonya enak, dari mulai harga yang merakyat hingga harga yang lumayan mahal untuk makanan bernama soto. Saya mulai menganalisa bumbu-bumbu yang digunakan. Mulai dari membiarkan lidah menikmati sensasinya, hingga bertanya pada peracik bumbu di dapur penjual.

Saat sampai di rumah saya bisa bercerita dengan keluarga, teman atau siapa saja yang sedang membicarakan soto. Dan akhirnya saya hanya menemukan lembaran cerita yang berhamburan, rasa yang sudah berlalu, tidak bisa memberikan menu itu pada keluarga. Oh. Ternyata saya menemukan satu kelemahan dalam diri, yaitu saya belum bisa membuatnya!

Seperti halnya menulis ...
Saya membaca cerita, koran, majalah, buku dan jurnal yang menurut saya bagus. Saya menceritakan pada suami, teman dan saudara. Decak bergulir seolah tiada terbendung. Lalu? Apa yang sudah saya lakukan? Saya masih diam. Menjadi saksi akan untaian aksara yang piawai mengulik rasa. Oh. Ternyata saya kembali menjumpai kelemahan diri, yaitu belum bisa menuliskannya.

Pikiran mondar-mandir. Saya belum melakukan apa-apa bila sebatas menikmati. Baik itu soto atau tulisan. Soto ada bermacam-macam soto. Mulai dari Soto Sokaraja, Betawi, Makassar, dan lainnya. Masih dengan satu nama. Demikian juga tulisan. Sebut saja cerpen. Ada cerpen religi, thriller, fantasi, fun fiction, dan ... buanyak lagi. Belum target pembacanya. Ada untuk anak-anak, remaja, young adult ... dan ... belum jika menilik latar belakang pendidikan. Fyuh. 

Seperti halnya saya mulai mempelajari bagaimana membuat soto. Saya juga mulai mempelajari bagaimana menulis cerpen. Pelan-pelan saya praktek membuatnya. Pertama ada rasa aneh dalam soto buatan saya. Demikian juga saat saya mulai menulis. Pembaca yang mencicipi tulisan saya merasakan ada kekurangan, baik dalam EYD, tanda baca, logika cerita, dan sebagainya. 

Kesimpulan yang saya buat sendiri adalah ...
Saya hanya akan menikmati tulisan-tulisan itu seperti menikmati soto. Dengan catatan saya membiarkan keadaan demikian. Tidak ada pengubahan. Statis. Untuk menjadi dinamis saya wajib berani mencoba, mempelajari, mempraktekkan dan membiarkan orang lain mencicipi soto ... dan juga tulisan saya. 

Akhir saya rela bicara pada diri sendiri bahwa menulis dan mamasak terlihat mudah, tapi baru bisa dirasakan saat kita melakukannya. Ketika kita diam, tidak akan ada perbaikan yang terjadi.

Eh ... 
Kalau ada resep soto keluarga. Bisa juga share ke saya. Dengan senang hati saya akan membacanya. Pun bila ada resep asyik dalam menulis ... siapa sangka saya belum mencobanya. 



Comments

  1. Pemahaman yang baik, mbak Kay.

    ReplyDelete
  2. Nice posting, mbak Keylaku ^_^. Perumpamaan yang cantik dan masuk akal...
    jika kita hanya banyak baca dan tidak menulis atau menuliskannya seperti banyak makan tapi tak pernah kentut...#eh maaf mbak Keyla, muty agak jorok dikit :-D


    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara