Menikah; Ketika Bibir Berkata Siap, Tapi Sebenarnya Hati Belum

Koleksi Pribadi

Hampir setiap gadis menginginkan menikah sesuai target yang diimpikan. Entah berupa target usia, karir, atau pasangan yang diidamkan. Saya termasuk yang membuat target dalam hal usia. Masih teringat dengan jelas bahwa ungkapan pernah meluncur dari mulut ini, "Saya akan menikah pada usia 23, 25, atau 27 tahun. Jika pada usia tersebut belum juga bertemu jodoh, saya pasrah."

Agaknya apa yang kita ucapkan memang menjadi do'a. Pada dua kategori usia yang pertama, saya belum juga dipersunting laki-laki. Sedih? Iya, banget. Apalagi bila ingat usia bapak yang sudah tak bisa dikatakan muda. Saya melakukan terobosan baru agar pada usia target ketiga sudah bersanding di pelaminan.

Siang di hari yang saya lupa entah hari apa. Seorang teman kantor mendekat sambil menebar senyum penuh misteri. Dia adalah istri dari laki-laki pilihan setelah penantiannya. Dengan wajah sesegar bunga bertabur embun, ada sapa mengelus gendang telinga, "Eh, Bu. Njenengan siap nikah?" Saya merasa terbiasa dengan pertanyaan ini dua tahun terakhir. 

"He-eh, Bu. Kenapa?"

"Ada teman suami saya yang siap nikah juga. Apa mau kenalan? Siapa tahu berjodoh."

Memang zaman sudah bukan era Siti Nurbaya, Siti Nurhaliza, dan Siti Kedaluarsa. Tapi, saya mencoba menerapkan tips dari teman, bahwa jika mau menikah sebaiknya pintu hati dibuka selebar mungkin. 

"Bo-leeh," jawab saya sambil berusaha tersenyum.

Beberapa pertanyaan diajukan. Saya menjawab dan teman saya merespon. Keesokan harinya kami melakukan perjanjian pertemuan. Laki-laki itu akan datang bersama teman saya dan suaminya, sedangkan saya akan datang dengan teman wanita saya yang indekos di dekat tempat kerja.

Setengah jam setelah salat Maghrib. Saya dan teman saya menuju warung bakso, tempat yang kami sepakati. Sampai di sana, kami disambut gerimis. Suasana jadi mirip adegan sinetron dalam TV. Setengah jam berikutnya tiga orang yang kami tunggu baru datang.

Jantung saya tentu saja sudah berimprovisasi dengan nada sendiri. Iramanya mengiringi gerimis yang berganti hujan. Meski yakin tidak ada yang mendengar, keempat orang di sekitar saya pasti lah merasakan bahwa saya sedang grogi. Bukan! Saya bukan type wanita yang tidak memiliki teman laki-laki. Pada masa sebelumnya, saya justru memiliki teman laki-laki lebih banyak, karena tuntutan olah raga yang saya tekuni. Hal itu tidak menjadikan saya lantas bisa santai bila dikenalkan dengan kandidat ... Hmm.

"Bagaimana kalau malam Jum'at saya ke rumah?"

Haah?

Saya tentu bengong. Bapak saya bukan orangtua yang begitu saja menerima tamu laki-laki. Apalagi malam hari. Saya bingung. Tidak ada jawaban Iya saat itu. Saya hanya menjawab, "Nanti saya pikirkan lagi." Mendadak perut saya tegang. Kaku.

Sepulang dari pertemuan itu saya terbaring selama 10 hari. Menurut diagnosa dokter, saya terkena gejala Typus. Saat bertemu kepala sekolah di mana saya bekerja pada perpustakaan di sana, beliau berkata, "Kadang kita tidak pas dengan sesuatu bisa menjadikan fisik sakit." Aih. Tahu dari mana ini si bapak? Entah. Yang saya sadari beberapa tahun sesudahnya, ternyata saya belum siap menikah. Itu saja. Bibir saya memang mengatakan siap, tapi hati baru ingin.


Kadang, apa yang kita yakini pada saat ini akan menjadi kekonyolan yang kita tertawakan sendiri pada masa yang akan datang.


Comments

  1. menikah itu harus siap segalanya ya mba mulai dari hati kalau hati nya belum siap berarti nikah terpaksa hehehe

    ReplyDelete
  2. Hehe. Tiap orang berbeda kondisi juga, Mbak Ipah Kholipah. Terima kasih sudah singgah.

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara