Ketika Anak Kita Berbeda (2)

Saat Mereka ingin ...

Byan ikut duduk di bangku siswa


Maisan masih memasukan jempol kiri hingga ke bagian pangkal. Saya terus mengamatinya. Dia melihat ke arah guru dengan pandangan belum bersahabat. Beberapa temannya sudah mulai merespon apa yang ditanyakan guru, Maisan masih juga diam.

"Kakaaak! Jarinya dikeluarin dooong."

Anak berambut cepak itu memang langsung menarik jempol kirinya, tapi dia mengganti dengan jempol kanan. Waduh! Saya pun memilih membiarkan dulu dan terus mengamatinya. Sementara adiknya asyik main sendiri di luar, dalam beberapa menit saya melihat untuk memastikan Byan dalam kondisi aman.

"Ini namanya jari jempool ... ini namanya jari jempool."

Bu guru mulai bernyanyi. Hati mulai melonggar kadar kesempitannya. Maisan tertarik, dia melirik. Kedua jempol ini menujunya untuk memberi motivasi. Adiknya mendengar lantunan lagu dan berlari masuk ke dalam kelas. Dengan wajah memerah bekas terpapar matahari pagi, dia ikut duduk.

"Apa katanya jari jempol? ... kalau sekolah enggak boleh ngompol."

Maisan terbahak. Gigi-giginya yang gupis ikut konser. Alhamdulillah. Anak-anak lain ikut menirukan alunan lagu. Otak saya merekamnya pelan-pelan.

"Ini namanya jari tlunjuk ... ini namanya jari tlunjuuuk ... Apa kata jari tlunjuk? ... Kalau sekolah enggak boleh ngantuuk."

Bibir Maisan kian lebar tertarik ke kiri-kanan. Adiknya ikut bertepuk tangan. Dan ada seorang anak keluar. Netra Maisan mengikuti arah perginya anak itu. Hati saya berdo'a, mudah-mudahan anak saya tidak ikutan.
"Ini namanya jari tengah ... ini namanya jari tengah. Apa kata jari tengah? ... kalau sekolah enggak boleh marah."

Dua orang bapak menenangkan putra mereka. Maisan mulai terprovokasi. Dia berdiri-duduk-menunduk-duduk, dan menoleh ke arah saya. 
Dua bapak ini luar biasa 
"Ini namanya jari manis ... ini namanya jari maniiis. Apa kata jari maniiis? Kalau sekolah enggak boleh nangis."

Suara tangis justru mengiringi lagu ini. Anak perempuan berambut lurus di atas pundak mencari mamanya. Maisan melihat dengan rasa ingin tahu. 

"Ini namanya jari klingking ... ini namanya jari klingkiiing. Apa kata jari klingking? Kalau sekolah enggak boleh kliling."

Dan si Rahma yang energik sudah berkeliling usai keluar dari kelas. Maisan lari keluar menuju ayunan. Wajahnya sumringah, senyumnya merekah, saya melongo. Ah, anak-anak. Kalian memang bisa saja membuat orangtua berdecak.

Hari itu jadwal masih sampai jam 09.00. Sejak do'a pulang dibaca bersama, Maisan sudah mirip udang diberi garam, atau belut hidup dimasukkan wajan penggorengan. Sungguh, hari tersebut membuat saya mencoba berharap oksigen masuk ke dalam jantung. Lebih banyak.

Apa hari berikutnya Maisan nyaman di kelas?
Adakah keseruan lain?

Bersambung ke : Ketika Anak Kita Berbeda (3)

Tulisan Ketika Anak Kita Berbeda (1) ada di sini.

In Sya Allah.

Comments

  1. Subhanallah mbk, super buat anda, saya aja gakpernah kepikiran buat ngerekam sampai detil kaya gini. dari umur 2 th sbnre anak saya udh saya kenalkan sama Paud. tapi baru bbrp bulan anak saya leukositnya tinggi, jadi panas susah turun akhire vakum sebulan lebih, smpe masuk lab ut cek darah dan opname 2 hari di RS. Belum sebelumnya bolak balik ke dokter. alhasil, anak jadi trauma sama org berwajah baru. pas saya coba masukin ke paud lagi, yg ada mlh tangis melengking. akhirnya saya putuskan berhenti dulu. stlh usia 3 th lebih, saya coba masukkan paud lagi. tapi ternyata trauma dg wajah baru masih tersisa, alhasil, baru 2 bulan anak saya mogok gak mau masuk paud lagi. Butuh suntikan kesabaran sebenarnya, apalagi saya org yg kdg temperamen. Umur 4 th kurang 2 bln, akhirnya saya coba ikutkan paud lagi, tp di dkt rumah, yg tentunya pesertanya bnyk anak2 tetangga. Mungkin karena pernah tau wajah anak yg ini, yg itu, anak saya sedikit nyaman, meski dg syarat saya hrs tetap duduk disampingnya. Tapi, alhamdulillah berjalan sampai hari terakhir masuk. Masalah saya hanya pada anak saya yang susah bersosialisasi, apalagi dengan wajah2 baru. Kalo orang dewasa mungkin anak saya tipe cuek dan sombong, hehehe

    ReplyDelete
  2. Subhanallah, Mbak Winarinda. Mohon maaf, saya sungguh alpa tidak baca komen ini setahun lalu. Terima kasih sharingnya. Semoga ananda jadi anak yang baik dan santun di masa yang akan datang, di mata orangtua dan Tuhannya. Aamiin

    ReplyDelete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara