Ketika Anak Kita Berbeda (1)

Maisan dan Byan sedang asyik bermain

Kalimat Setiap Anak Terlahir Istimewa berputar-putar dalam pikiran saya. Kadang pindah ke hati hingga menyebabkan rasa gelisah, ingin anak seperti anak-anak yang lain. Hingga semua terbawa ke do'a-doa yang dipanjatkan. Berharap saya mendapatkan ruang sabar yang terus diperlebar ... oleh-Nya.

Saya menantikan menulis ini sejak awal anak pertama saya, Maisan masuk sekolah. Dia lah yang akan menjadi bahan observasi kecil-kecilan umminya ini. Sejak tanggal 27 Juli, saya mengamati anak yang terlahir empat tahun lalu. Bagaimana dia saat di sekolah? Apa yang dilakukan bersama teman-teman barunya? Namun, sebelum saya memutuskan menulis, saya sudah mematri hati dengan kalimat motivasi : "Ini baru proses dan sebaiknya tidak memaksa agar anak bisa di semua hal."

Hari itu pertama kali Maisan masuk sekolah. Dia belum memakai seragam. Dua bola matanya berbinar melihat aneka mainan di halaman TK Kuncup Melati, Berbah, Sleman, Yogyakarta. Sebuah sekolah yang terletak di belakang Panti Asuhan Yatim Putri Khoirun Nisa. Tidak jauh. Dia belum meletakkan tas birunya ke kelas. Dengan santai dilemparkannya benda baru itu di ayunan. Sementara dia mencoba jaring yang katanya mirip latihan pak tentara.

Tiba juga saatnya dia berganti mainan. Bersama adiknya yang berusia dua tahu, dia menaiki ayunan kecil yang letaknya tidak jauh dari jaring laba-laba pak tentara. Sebagai ibu, saya melihatnya dengan gembira. Setelah empat tahun lebih banyak di dalam panti asuhan, bergaul dengan anak-anak yang lebih dewasa, sekarang tiba juga saatnya berbaur dengan dunianya. Dunia anak-anak. 

"Ayo! Sekarang baris dulu ...."

Intruksi itu sempat membuat tanya dalam hati ini. Apakah Maisan akan ikut berbaris?

Oh, ya, ampun. Saya merayunya dengan berbagai kalimat. Dari huruf-huruf ajakan, intonasi tanda tanya sampai tanda seru. Pada akhirnya saya mengikuti dari samping, Maisan masih menggandeng tangan saya. Dan ... saat berbaris, saya pun ikut bersamanya.

Tidak hanya satu dua orangtua yang melakukan hal serupa. Mereka pun merayu dengan berbagai gaya. Ada tangisan terdengar, pun teriakan bersahutan. Keriuhan suasana TK mungkin memang tidak jauh dari hal begini. 

Pikiran dan visual saya terbagi dua dalam satu waktu. Mengawasi Byan, dan juga menemani Maisan. Mungkin ini pernah dirasakan ibu-ibu lain yang jauh lebih senior secara usia dibanding saya. Dulu saya hanya mendengar cerita dari teman satu ke teman lain, dan hari itu saya mengalaminya.

Ketika masuk kelas. Maisan tidak serta merta masuk begitu saja. Dia masih menatap saya, seolah membuat pesan melalui netranya : "Ummi ... jangan tinggalkan aku, ya." Oksigen baru masih menemani saya. Saat itu, dengan senyum yang mencoba meneduhkan, diri ini menemani serta duduk tidak jauh dari tempat duduknya.

Dan ... 
Inilah yang dilakukan Maisan. Dia belum pernah memasukkan jempolnya hingga sedalam ini sebelumnya. 
Maisan ngemut jempol, seperti saat dia baru 6 bulan

Bagaimana selanjutnya?
Apa Maisan merasa nyaman saat di kelas?
Apa yang saya lakukan, juga adiknya yang ikut serta bersamanya?

Semoga bisa saya tuliskan kelanjutannya. Pada : Ketika Anak Saya Berbeda (2)


Comments