Barongan, Gerak Jalan, dan Uang Jajan

Suasana panti asuhan sepi, sebagian besar anak-anak panti sedang upacara 17-an. Suami juga sedang melakukan hal sama. Suara kedua anak saya memainkan pintu mobil yang rusak dan guyonannya terdengar jelas. Percakapan Byan yang masih cadel dengan Maisan, kakaknya membuat saya tersenyum. 

Sementara saya terkenang hal yang terjadi pada masa MI (SD). Bendera-bendera aneka warna yang ada di rumah-rumah pinggir jalan membuat saya kagum. Waktu itu, rumah orangtua saya bukan di pinggir jalan sih. Setiap tanggal 17 Agustus, saya menantikan saat di mana bisa keliling kampung. Bersama teman-teman, guru, dan para orangtua yang penasaran, kami berjalan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. 

Tangan kanan anak-anak yang berjalan membawa bendera kecil. Hal paling mendebarkan kalau ada Barongan (Barongsai). Saya termasuk yang berani enggak berani kalau ada Barongan. Mulutnya kok gede banget, ya? Ih wajahnya kok kayak harimau, tapi juga kayak topeng. Begitu pikiran ini bicara bila mengamati Barongan.

"Kamu sangu berapa?" tanya teman satu pada teman yang lain. 

Kami memang biasa membeli jajan usai jalan keliling. Kami melakukan keliling setelah upacara di depan halaman sekolah. Kalau sudah kelas IV, maka bersama kelas V dan VI upacara di lapangan. 

Di pinggir-pinggir jalan biasa ada beberapa penjual lotek, es cincau, bakwan, mendoan,  gembus, kacang tanah rebus, klanting, dan lainnya. Saya biasanya membeli es cincau yang segar, bakwan dan kupat. Rasa lelah setelah berjalan terbayar sudah hanya dengan makanan itu.

Sudah tiga tahun saya tidak berkunjung ke desa kelahiran, mungkin sekarang sudah lebih ramai dan kreatif lagi dalam menyemarakkan 17-an. 




Comments

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara