Wajah yang Memendam Rindu

Ibu berlari ke kamar mandi, beliau mencari gayung dan ember. Aku melihatnya sambil memeras cucian dengan tangan. Entah apa yang beliau ucapkan, aku belum bisa melafalkan kalimat-kalimat dalam Bahasa Madura, tapi aku tahu maksud yang dituju ibu. Dari ekspresi wajah, gesture, dan intonasi bicaranya, kali itu beliau memberitahuku bahwa Maisan sedang BAB. Apalagi ada bukti jelas, kain jariknya berwarna kuning. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Maisan--anak pertamaku masih berusia empat bulan. Dan dia adalah cucu pertama bagi ibu--ibu suamiku.

"Kita besok pulang ke Madura ya, Dik? Ha plus satu aja. Gimana?"

Lamunan yang sedang mengenang peristiwa bersama ibu buyar. Aku bersorak dalam hati. Akhirnya setelah hampir tiga tahun menikah, kesampaian juga  mau ke rumah ibu. Walaupun sebenarnya pilihan hari mudik membuatku bertanya, "Kok pada hari yang biasanya padat arus mudiknya?" Ya sudah. Rupanya keputusan tak bisa diubah. Aku langsung memompa balon motivasi, siap-siap pulang, repot, capek, tapi bahagia! begitu cara yang sering aku lakukan saat planing-planing mendadak yang biasa ditawarkan suami--atau mungkin ini kebiasaan laki-laki.

Hari yang direncanakan tiba.
Jam 17.00 WIB kami naik motor menuju terminal. Kendaraan yang berseliweran sudah menunjukkan jalanan yang ramai. Ada tiga tas besar dan dua kardus yang kami bawa. Maisan sudah berusia dua tahun lebih, sedangkan adiknya, Byan baru berumur sembilan bulan--belum bisa jalan. Kami berempat kompak memakai jaket tebal. Kedua anak kami memakai kaca mata hitam agar terlindung dari binatang mungil yang biasa terbang di sore hari. 

Terminal riuh. Suara pedagang asongan bersaing dengan deru bus datang, pun pergi. Asap-asap knalpot membaur dengan udara. Terhempas bersama embusan angin, menyebar, menyapa wajah-wajah pemudik yang berseliweran mencari  loket. Bau mie instan cup menguar menyapa hidung. Maisan mengenali aroma itu. Dia mencari-cari sumber yang tercium lezat itu. Kena! Dia menatapkan visualnya lekat pada sosok anak kecil yang sedang meniup-niup mie instant-nya.

"Kita tunggu di bawah tiang listrik, Dik."

Maisan bergeming. Dia masih memperhatikan anak yang makan mie. Asap membumbung dari cup yang digenggam anak itu. Aroma khas kembali menyapa hidung. Aku yakin, Maisan menginginkan makanan itu.  Segera kutarik tangannya. Suamiku sudah mirip pedagang antah berantah dengan bawaan tas besar dan kardus. Baik, ini tugasku. Aku menggendong dua anak sekaligus. Tak apa lah, ini hanya untuk beberapa saat. Kalau sudah berlalu, nanti juga indah diingat. 

Kami berjalan dengan cepat. Gelap mulai menyergap. Orang-orang yang duduk dan berlalu lalang sudah terlihat seperti bayangan. Kami menunggu di bawah tiang listrik. Sudah banyak juga yang duduk di sana. Setelah saling sapa, sebagian besar dari mereka akan ke Surabaya. Menurut cerita, bus selalu penuh. Untuk bisa naik harus antri dan saling rebut. 

"Kakak di depan sendiri, masuk ke bus, letakkan tas-tas kita. Aku akan bergerak cepat."

Rencana itu berjalan dengan baik. Kami bisa masuk dan duduk sesuai rencana. Setelah semua menyandarkan punggung ke kursi, aku segera menyiapkan kresek hitam. Suamiku biasa mabuk di kendaraan umum. Aku juga berjaga-jaga kalau-kalau kedua anakku ikutan mabuk. Kali itu, aku menjadi Power Mom yang mewajibkan diri menjadi pahlawan untuk keluarga kecil di dalam bus. Setidaknya karena selama ini aku tidak mabuk saat naik kendaraan jenis apa pun.

Wajah mereka tampak lelah. Maisan dan adiknya sudah terlelap. Kudekati suami dan menawarkan minyak gosok roll-on. Dia menerima, mengoles, dan mengembalikannya tanpa kata-kata. Mungkin dia mulai pusing. Tidak ada percakapan antar penumpang yang terdengar. Hanya suara bus lain yang melintas, suara supir yang menerima telepon sebentar, dan sepi lagi. Suamiku memejamkan mata. Aku bersandar dan menarik napas panjang.

Sebaiknya aku salat Maghrib dan 'Isya dulu. Tayamum dan dijamak saja. Mumpung semua sedang istirahat. Bayangan ibu kembali datang. Aku ingat, bagaimana beliau menelepon suami setiap sore lebih sering saat Ramadhan. Bagaimana ungkapan rindu--yang belum juga bisa kulafalakan pada cucu-cucunya. Terutama pada Byan yang belum pernah dilihatnya. Betapa nada bicara sangat bahagia mendengar teriaka Maisan. Hanya melalui HP. T-e-l-e-p-o-n.

Salat kali itu menjadi salat jamak dengan cara bersuci tayamum pertamaku selama dua tahun terakhir . Kupastikan ketiga orang istimewa di sampingku benar-benar aman. Takbir mengawali kewajibanku. Saat itu, detak nadi, embusan napas, dan pikiran tertuju pada-Nya. Ada dedo'a yang mengiringi, semoga ibu di usianya yang senja selalu diberi kesehatan. Kami bisa mengunjunginya tidak hanya satu kali. Sebelum beliau mau tinggal bersama kami. Pilihan pulang ke Madura sebaiknya dijadwal dengan baik. Sebab, bakti suami ada pada ibunya. Ah. Kok jadi panjang lebar.

"Abi, aku mau muntah."

Aku melonjak. Tangan kanan segera meraba kantung tas dan menarik kresek. Maisan mabuk. Byan bangun. Suami mengerjap-ngerjap. Wah, biasanya kalau begini bisa menular. Mencium bau khas orang muntah, yang biasa mabuk gampang ikut mabuk. Benar! Baru saja pikiran bertanya, Byan sudah mengeluarkan suara kurang nyaman dari mulutnya. Dan aku tahu, suamiku merasakan hal sama. Perjuangan pun dimulai.

Lega.
Tapi ...
Byan tiba-tiba menangis. Dia hanya mau digendong suami. Aku memeluk Maisan yang sebenarnya juga ingin digendong suami. Kurasa, suami lebih berjuang keras untuk melawan mual, dan pusingnya sambil menggendong Byan. Lihat saja. Matanya berkali-kali mengerjap. Baik. Aku fokus pada Maisan. Suami pada Byan. Ini akan segera berlalu.

"Persiapan ... persiapan ... penumpang yang akan makan, buang air kecil, salat dan lainnya segera siap turun. Kita akan melanjutkan perjalanan setelah makan."

Begitu kira-kira suara kondektur yang membuatku melirik ke samping kiri. Ada sebuah rumah makan yang digunakan bus tertentu untuk berhenti dan makan. Kebetulan  sekali. Anak-anak pasti lapar karena sudah mengeluarkan isi perut sebelumnya. Perutku juga terasa kempis. Kantukyang kutahan membuat rasa ingin makan bertambah.

Dua ayam bakar, satu pecel, dan satu bakso. Untuk dua ayam bakar sengaja kami bungkus. Aku dan suami makan pecel. Dua anak kami makan bakso. Kami sengaja tidak terlalu banyak makan, walaupun lapar. Ada kekhawatiran mabuk akut jika berlebih-lebihan mengisi perut. Kami juga mengganti pakaian anak-anak, cuci muka, dan membeli beberapa bungkus snack.

Udara terasa bertambah dingin.
Perjalanan berlanjut hingga ke Surabaya. Di sana, kami masih mencari bus jurusan Sumenep. Oh, alangkah terasa panjangnya perjalanan. Namun, pikiran itu kembali tertepis oleh bayangan wajah ibu. Entah seperti apa bentuk rindu yang ada di dadanya. Mungkin sudah memenuhi seluruh aliran darah dan setiap langkah. Entah.

Seorang laki-laki berjenggot dan wanita bercadar menggendong anak-anak. Mereka memiliki tujuan yang sama dengan kami. Suami berbicara dalam Bahasa Madura, aku bicara dengan bahasa nasional. Kami saling bercerita tentang serunya mudik kali ini sambil menunggu bus. Sudah ada dua bus dengan trayek yang kami cari, tapi, semuanya penuh. Sesak. Kami memilih menunggu.

Alhamdulillah.
Bisa juga naik bus jurusan Sumenep. Saat melintas di jembatan Suramadu, adzan Shubuh berkumandang. Aku melihat lampu-lampu sepanjang mata memandang. Seperti lilin yang mengapung di atas lautas. Rumah-tumah tampak seperti setting film-film saat pagi tiba. Sejuk. Aroma kerinduan ibu kian kuat kurasakan.

Suamiku menelepon seorang teman. Mereka akan menjemput kami di Sumenep. Perjalanan menuju desa kelahiran suami dari Yogyakarta kurang lebih kami tempuh 13 jam. Rasa lelah dan penat berguncang di atas bus. Sebentar lagi kakiku akan menapak untuk pertama kalinya di Poreh-Lenteng-Sumenep-Madura.

Sawah-sawah membentang. Daun-daun tembakau menari. Dan ... wajah ibu terlihat bahagia bertemu dengan cucu-cucunya. Kami disambut dengan makanan khas bernama Campur. Beberapa tetangga ikut menyambut. Saudara ada yang sudah bersiap di rumah ibu. Maisan langsung menggelayut di pangkuan simbahnya. Aku lega, tadinya pernah berpikir, jangan-jangan karena jarang bertemu, Maisan tidak mau dekat-dekat ibu. Ternyata pikiranku tidak terbukti.

Di sana
Kubiarkan ibu tidur bersama kedua anakku. Kubiarkan juga beliau menggendong Maisan yang sudah mulai berat. Biar saja ibu melepas rindu. Aku sempat mendapati ada bulir bening menitik di pipi ibu saat menggendong Maisan. Wajahnya ... wajah memendam rindu berpuluh-puluh bulan. Semoga ibu senantiasa dilimpahi kesehatan sampai bisa melihat wajah anak cucunya lagi. Sebab, Ied kali ini, kami tidak mudik. Rencananya akan mudik pada liburan sekolah semester depan.

Terima kasih Exchange publishing your idea untuk kesempatan bercerita. Terima kasih ibu, karena kau telah melahirkan putra yang saat ini mendampingiku dalam cinta.





Comments