Aku di bawah gubug
Mbah Dulah ketika bapak bersama segerombolan orang yang tidak kukenal. Setelah
menutupi seluruh tubuh dengan jerami kering, aku leluasa melihat mereka. Emak
selalu berpesan, “Nek kowe weruh bapak, aja diceluk.”
Emak pun pernah
bilang bahwa bapak anggota DI/TII dan aku hanya mendengar penjelasannya tanpa
tanya. Aku dilarang memanggil atau pun ikut bapak di mana pun menemuinya. Ah,
sungguh betapa kangen sekali mengaji turutan
dengan bapak.
“Kie diwaca Da, nah sijine Dza.”
Aku selalu melakukan
keleliruan pada dua huruf hijaiyah itu. Biasanya kedua mata bapak melebar,
napasnya mulai memburu. Tuding yang tadinya
menunjuk huruf, berbalik arah menunjuk
keningku.
“Kie dienggo.” Lidi
setengah hasta itu hinggap lagi di keningku.
Ah, bapak. Aku
disuruh memakai otak, padahal sungguh susah lidah ini mengucapkan dua huruf
itu. Sekarang, aku sudah bisa melafalkannya dengan baik, ingin kuberi tahu
bapak, tapi entah kapan.
Bapak dan
orang-orang itu sudah pergi, aku menyeruak dari balik jerami. Setelah melihat
jalan sepi, kaki ini berlari menerobos setapak tepi kali menuju jalan ke rumah.
Mata hari mulai bergeser ke kaki langit sebelah barat. Warna-warni ini pertanda
jin-jin beterbangan, kata Emak.
Seekor babi hutan
lewat, aku menepi. Bapak pernah bilang bahwa mereka melintas jalan berdasar
urutan usia. Jangan sekali-kali lewat sebelum induknya lewat, itu berbahaya.
Satu, dua, tiga … Setelah lima ekor babi hutan menyeberang. Aku masih menunggu,
sepi. dua kaki kecil ini kembali berlari hingga pelataran rumah.
“Koe kang ngendi,
Cah?” Suara Mbah Dulah mengejutkanku, padahal beliau hanya bertanya aku dari
mana?
“Saking sabin,
Mbah.” Aku menjawab gugup, baru dari sawah. Sebenarnya tadi asyik mengikuti
anak kera yang tersesat. Ketika ia menemukan induknya, aku terjebak menunggu
orang-orang berwajah sangar dan bapak lewat.
***
Sejak ada
ribut-ribut, aku tidak berangkat ke surau. Emak bilang demi keselamatan.
Seperti sekarang, aku sudah membuka turutan butut hadiah dari Mbah Dulah. Emak
sibuk membungkus sesuatu.
“Koe ngaji karo
Simbah, ya, Cah?” Mbah Dulah akan mengajariku mengaji. Aku berbinar. Biasanya
Mbah Dulah tidak akan marah meski pun aku banyak salah mengeja huruf.
“Dal fathah Da. Dal kasroh Di. Dal Dhommah Du. Da-di-du.” Mbah Dulah tersenyum. Beliau mengangguk
sambil mengelus jenggotnya. Ah, baru saja aku mau pamer dengan Mbah Dulah kalau
aku sudah bisa mengucapkan huruf Dza
dengan benar.
“Teploke di sidem!”
Dari luar terdengar peringatan agar mematikan lampu minyak. Tangan Emak menarik
tanganku, Mbah Dulah segera masuk ke kolong meja. Aku tak dapat melihatnya
dengan jelas. Emak menyuruhku tiarap di bawah tempat tidur. Terdengar pintu
dapur diketuk.
“Mak … Mak, bukakna
lawang.” Seseorang minta dibukakan pintu. Aku mengenali suara itu. Bapak?
“Mak, itu Bapak,
Mak.” Aku mengguncang-guncang genggaman tangan Emak. Beliau melonggarkan
genggaman.
“Kamu tunggu di
sini, biar Emak yang akan menemuinya.” Aku ingin sekali ikut, tapi Kiai Surau
bilang surga ada di telapak kaki emak, maka kutahan keinginan itu. Kepala ini
sedikit menyembul dari bawah tempat tidur, dua mataku bisa mengintip ke dapur
dari celah pintu.
“Mak, Bapak hanya
pulang sebentar. Baju-baju sudah disiapkan?” Aku tak dapat melihat wajah Bapak.
Terdengar suara korek api spirtus dinyalakan. Sebias cahaya mulai menerangi
ruangan. Aku melihat punggung bapak, beliau memakai rompi cokelat.
“Mas … Mad Fatih
kangen sama sampeyan.” Emak menyampaikan
rinduku pada sosok tegap berambut sebahu itu. Aku lupa dengan wejangan Kiai
Surau. Aku berdiri, melangkah, mendekati mereka tanpa suara. Terdengar tepukan
tangan dari luar. Sepertinya itu sebuah sandi.
“Aku berangkat,
Mak. Jaga anak kita. Ini jihad.” Apa pula itu jihad? Dan kenapa jihad harus
meninggalkan rumah.
“Pak!” panggilku
serak. Bapak menoleh sebentar, aku memeluknya dalam tangis.
“Bapak akan
memberimu hadiah turutan kalau kamu
sudah bisa membaca Dal dan Dzal dengan baik.” Beliau mengecup
keningku kuat, mendekap beberapa detik. Lalu ke luar menerobos gelapnya malam.
“A-ku su-dah bi-sa,
Pak.” Hanya emak yang mendengar jawabanku. Mbah Dulah terbatuk, sepertinya
beliau sudah ke luar dari bawah kolong meja. Suara jangkrik melagukan
perpisahan.
***
Emak menumbuk padi
dalam lesung. Sudah dua hari beliau memakai kebaya krem dengan kupu baru dan
kain jarik motif parang. Semua itu hadiah bapak. Aku pikir bukan karena baju
ganti emak habis, tapi sebenarnya emak juga rindu pada bapak. Sebulan sudah
mereka berpisah dan baru bertemu malam itu, sekejap.
Gelung rambut emak
lepas. Keringat mengucur deras. Wajahnya tampak lelah. Beliau melihatku yang
dari tadi duduk termangu di atas tunggak kayu mahoni.
“Dul, Emak minta
tolong ambilkan tangga di belakang rumah.” Senyum emak selalu tak pernah
berkurang takarannya. Dalam segala keadaan, beliau selalu lebih banyak
tersenyum dibanding bersuram wajah.
Aku segera beranjak
menuju tangga bambu rakitan bapak. Tangga nomor dua sudah patah, artinya siapa
pun yang memanjat akan langsung lompat, dari tangga pertama ke tangga ketiga.
“Galahnya juga, ya,
Dul?” Aku meletakkan tangga di batang pohon kelapa gading, mengambil galah
bambu di samping rumah. Kalau ada bapak, emak tak perlu alat-alat itu hanya
sekadar mengambil kelapa muda. Bapak akan memanjat pohon kelapa hijau, bukan
kelapa gading.
“Siapkan rantang
sama sendok, Nak.” Emak langsung naik tangga, beliau berhenti pada undakan
keempat.
“Waduh. cengkir,
Dul.” Emak tampak kecewa karena galahan pertama menjatuhkan cengkir, bakal
kelapa muda.
“Alhamdulillah, ini
degan.” Akhirnya ada tiga buah kelapa muda sudah berada di atas tanah. Kok
tiga? Kan tidak ada bapak. Biasanya kalau memetik tiga kelapa muda maka aku
berdua sama emak, satu untuk bapak dan lainnya untuk Mbah Dulah.
“Yang satu untuk
siapa, Mak?” Aku tak dapat menahan penasaran.
“Buat Bapak. Beliau
kan paling suka dengan kelapa muda.” Aku menatap dua mata emak. Tiba-tiba pipi
beliau memerah, dua kaca bening di korneanya agak basah. Aku diam. Kentongan
zuhur terdengar mengalihkan fokus kami.
“Dul, wis wayaeh
sembahyang. Ayo wudhu!” Emak membawa tiga buah kelapa muda dengan menyatukan
sedetan tepes lalu mengikatnya. Aku
membereskan bedog, galah dan tangga. Mungkin selepas zuhur kami baru akan
menikmati kelapa muda itu.
***
Aku sering
mengintip orang-orang tegap itu dari balik rumpun rumput gajah. Gigitan nyamuk
dan semut tak membuatku mundur. Mereka tampak gagah. Biasanya bila kentongan
ashar berbunyi, beberapa saat sesudahnya orang-orang berotot itu lewat.
“Wayaeh tentara
lewat.” Mbah Dulah bilang mereka tentara. Apakah anak sepertiku bisa jadi
tentara?
“Bapakmu kae
mungsueh tentara!” Aku ingat kalimat yang diucapkan teman ngaji ini. Dia bilang
bahwa bapak musuhnya tentara. Lalu bila aku ingin menjadi tentara, berarti aku
akan menjadi musuh bapak? Tidak! Aku bukan anak durhaka.
“Dul Fatiih!”
Panggilan Emak melingsirkan lamunan. Aku segera menghambur dalam patuh. Bajuku
tersangkut duri pohon jeruk nipis. Ah, kenapa juga pohon buah kecut ini malah
mengingatkanku pada bapak.
“Kalau pulang dari
sawah, cuci tangan dan kaki dengan air jeruk nipis. Kamu akan selalu bersih.”
Begitu kira-kira nasihatnya. Sementara emak sering mencampurkan dengan abu
untuk mencuci gerabah.
“Duul?”
“Iya, Mak. Tunggu
sebentar.” Aku membuang duri yang tersangkut di baju.
“Dul, kita
sembahyang, lalu do’akan bapak, ya?” Wajah emak tampak cemas. Mbah Dulah sedang
mendengar siaran radio. Telinganya ditempelkan dengan radio besar itu.
“Tentara mulai
melakukan penangkapan lagi, Kinah.” Mbah Dulah mengulang-ulang kalimat itu. Aku
hanya mengangguk pada emak dan menebak-nebak apa yang dimaksud oleh Mbah Dulah.
Hujan turun,
kampung Gendek mulai sepi.
Aku menatap
panah-panah bening dari balik jendela. Tangan emak memegang pundakku. Senyumnya
seperti mencemaskan sesuatu.
“Dul, katanya kalau
kita berdo’a saat hujan, do’a kita mustajab.” Emak mengusap pipiku.
“Kita berdo’a untuk
keselamatan Bapak, Mak?” Emak menatapku, mengangguk perlahan.
“Tutup pintu dan
jendela, Kinah. Hujan tambah deras.” Mbah Dulah mengingatkan. Tanganku menarik
papan dan menutup jendela. baru saja tertutup separuh, sesosok bayangan berlari
menembus hujan. Mendekat. Bapak?
Mungkin bapak
teramat lelah, beliau langsung tidur setelah emak menyuguhkan singkong rebus
hangat. “Kita tidur dan padamkan damar,” pesan bapak agar kami memadamkan lampu
minyak saat tidur.
Aku hanya tahu satu
hal bila lampu dipadamkan lebih sering. Keadaan kampung sedang tidak aman.
Entah karena ada para pemberontak, pencuri, garong atau pocong yang melancong.
Dan yang terakhir hanya obrolanku dengan teman-teman sepermainan. Usia mereka
tujuh tahun, dan aku satu tahun di bawahnya.
Mbah Dulah sudah
mendengkur. Suaranya paling keras di antara jangkrik, tonggeret dan
orong-orong. Di luar suara katak bernyanyi, mungkin lagu indah seindah
kepulangan bapak hari ini.
***
“Aja menek glugu,
Mad. Kiye wayaeh tentara lewat.” Mbah Dulah mencegah bapak yang bersiap
memanjat pohon kelapa. Sudah lama aku tidak minum air kelapa muda hijau. Meski
mendung, akan tetap segar bila dicampur gula jawa.
Aku sedang di
kakus. Suara tembakan bertubi-tubi menghentikan hajatku. Emak berteriak
memanggil bapak. Aku berdiri, berlari mendekat dengan celana kolor masih di
atas lutut.
Orang-orang
berbadan tegap memberondong tubuh bapak dengan peluru. Aku lemas. Seketika
keinginan jadi tentara lenyap ditelan luka. “Jangan mendekat. Tunggu mereka
pergi!” Mbah Dulah menggenggam pergelanganku kuat. Emak tersungkur. Beberapa
orang memapah, membaringkannya di atas lincak.
Kulihat bapak tidak
bergerak. Tubuhnya bersandar di pelepah yang hijau. Seorang menyiapkan tali dan
satu lagi memanjat. Setelah bapak sampai ke tanah dan orang-orang kekar
bersenjata itu pergi, aku mendekat.
“Dul? Mungkin ini
untukmu.” Sebuah turutan koyak disodorkan Mbah Dulah. Aku tergugu. Dengan
tangan gemetar kuambil buku yang pernah bapak janjikan.
“Pak, aku sudah
bisa mengucapkan Dal dan Dzal dengan baik. Aku hapal banyak
suratan pendek.” Bapak diam. Tubuhnya kaku. Sekaku lidahku ketika ingin
berteriak dan tak satu pun huruf ke luar dari tenggorokan.
Pondok Cahaya-Yk, 13.02.2015
---
Kata/kalimat berbahasa Jawa :
1.
Turutan : Buku ngaji hanya berisi Juz 30 dan
pengenalan huruf hijaiyah.
2.
“Nek kowe weruh bapak, aja diceluk.” : Kalau kamu melihat bapak, tidak usah
dipanggil.
3.
“Kie diwaca Da, nah sijine Dza.”
: Ini dibaca Dza, satunya lagi Dza.
4.
Tuding : Alat untuk menunjuk huruf dalam belajar
membaca huruf hijaiyah/Al-Qur’an.
5.
Dienggo : dipakai.
6.
“Koe kangdi, Cah?” : Kamu dari mana, Nak?
7.
“Saking sabin.”
: Dari sawah.
8.
“Teploke disidem!”
: Matikan lampu minyak!
9.
“Bukakna lawang.”
: Bukakan pintu.
10.
Sampeyan :
Kamu.
11.
Gelung :
Rambut wanita yang ditekuk lalu diputar dan disimpul/cepol.
12.
Tunggak :
bagian paling bawa dari pohon yang sudah ditebang.
13.
“Wis wayaeh sembahyang.”
: Sudah waktunya sholat.
14.
“Wayaeh tentara lewat.”
: Waktunya tentara lewat
15.
“Bapakmu kae mungsueh tentara.”
: Ayahmu itu musuhnya tentara
16.
“Aja menek glugu.”
: Jangan naik pohon kelapa.
17.
Kakus :
Jamban.
18.
Lincak :
tempat duduk/tidur berbentuk bangku panjang terbuat dari bambu.
Tulisan ini meraih juara kedua dalam kelas menulis cerpen KBM dengan tema sejarah, dan dimuat Islampos; 20 Maret 2015
Comments
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.
Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara