1. Sesuatu yang Tak Terprediksi

Lokasi yang menginspirasi cerita.

Lia menyelingi obrolan dengan tawa. Angin mengayun batang Pohon Salam yang diduduki. Dia berdiri, lalu melompat ke atas tembok pembatas panti asuhan. Sekarang, gadis 15 tahun itu duduk seolah persis di atas buh jembatan. Mengayun-ayun kaki ke kanan kiri dengan hati berbunga.

"Besok berangkat sekolah bareng, ya?" 

Tawaran sangat biasa yang terdengar indah di telinga Lia. Seperti ucapan, "I Love You", "Kamu cantik deh", atau "Kamu mau jadi pacarku, kan?"

Di bawah Lia ada dua anak laki-laki yang jongkok-berdiri-lalu membunyikan kretek pinggang yang pegal. Di bawah Pohon Salam yang buahnya merah, bulat bak kopi, ada gadis lain yang hanya jongkok sambil mengantuk. Saking menikmati kantuk, kepalanya berulang terjedot tembok dinding.


Seharusnya sekarang adalah waktunya makan malam. Usai salat Isya, hal itu menjadi rutinitas yang sudah berjalan selama beberapa tahun. Kecuali bila hari Senin dan Kamis, anak-anak panti asuhan khusus putri ini akan makan usai salat Maghrib.

"Kamu tepuk tangan tiga kali kalau aku lewat di depan pantimu, ya, Hayat?"

Sebuah perjanjian pemberian kode yang biasa dilakukan remaja segera disambut. Hayat sama-sama anak panti asuhan. Dia tinggal 100 meter ke arah selatan dari panti tempat tinggal Lia. Panti asuhan khusus putra Setiap hari ada sandi berbeda untuk memanggil Lia agar memelankan langkah, dan Hayat muncul, mereka berdua akan berjalan bersama menuju jalan raya. Di perempatan mereka berpisah. Lia naik bus ke arah kiri, Hayat sebaliknya.

Perjanjian itu dilakukan dalam posisi Lia yang bertengger di atas tembok, dan Hayat yang berdiri-jongkok di atas pematang sawah. Mereka lanjut mengobrolkan hal yang dipenting-pentingkan. Antara bayangan dan manusia, terlihat sama hitam. Cahaya lampu dari tempat jemuran dekat Pohon Salam tak mampu membuat terang sampai ke tempat mereka. 


Dari arah samping kanan, dua laki-laki dewasa berjalan menahan suara langkah kaki. Satu orang berpakaian kaus dan celana jins, satunya berjenggot, baju koko, dan memakai sarung. Keduanya berusaha untuk tetap diam sampai jarak begitu dekat dengan dua remaja laki-laki itu.

"Kalian sedang apa di sini?"

Keduanya bersiap lari, namun terlambat. Masing-masing dari kedua tangan kokoh orang  dewasa itu berhasil memegang lengan baju, dan lengan tangan mereka. Mirip dengan maling ayam yang dibekuk petugas ronda. 

"Turun! Lia!"

Satu komando  dalam nada tinggi membuat Lia hampir terjatuh. Dengan cepat remaja bermata bulat segera berpindah ke dahan Pohon Salam, melompat.

"Aduh! Kira-kira dong kalau turun. Kamu pikir kepalaku ini terbuat dari batu? Atau kamu anggap tangga? Kasih aba-aba napa!"

Cerocosan si terkantuk-kantuk tak dihiraukan Lia. Dengan wajah masih terbebani kantuk, dia merelakan diri diseret pergi dan berlari oleh yang dianggapnya sebagai sahabat.

"Ada apa sih?"

"Gawat! Gawat!

"Iya, gawat apaan?"

"Kita ketahuan sama Pak Hamid. Duh, gimana ini, Tanti?"

Remaja yang dipanggil Tanti melongo. Kedua bahunya mendadak lemas. Kalau sudah begini pasti akan ada sidang. Berita segera menyebar dari satu pengurus ke pengurus lain. Dan, simbok yang jauh di Banjarnegara bisa lebih gawat kalau tahu. Wajah rentanya akan bertambah terlihat tua. Terlambat. Ini sudah ketiga kalinya Lia melakukan pelanggaran. Sesuai surat perjanjian yang ditulis sendiri, dia siap pulang. Itu artinya dia tidak akan sekolah lagi. Simbok hanya hidup sendiri dengan dua cucu titipan yang tanpa ayah. Seperti dirinya, kedua cucu simbok tak jelas siapa bapaknya.

"Semoga Pak Hamid lupa perjanjian yang kau buat."

Para Perakit Mimpi



Comments

  1. bagus cerpennya :)

    @adibriza (orang Nganjuk yang tinggal di Jogja)

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Jawabannya di part selanjutnya (belum diposting).

      Delete

Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung ... sangat senang bila Anda meninggalkan komentar, atau sharing di sini. Mohon tidak meninggalkan link hidup.

Salam santun sepenuh cinta
Kayla Mubara